Aku pertama kali bertemu dengannya di hari pertama liburanku
ke Bali. Ya, laki-laki yang menyelamatkan hatiku. Membuatku sembuh dari luka
batin karena menjadi wanita yang tak terpilih—ah, kupikir gelar itu memang
pantas untukku. Ini bukan karena aku pengecut—bukan karena aku ingin melarikan
diri. Tapi, membuat batin terus menerus terluka juga tidak baik. Mungkin kata
‘menghindar’ lebih cocok untuk mengkondisikan situasiku saat ini. Walaupun aku
sudah (mencoba) menerima semua ini, bukan berarti aku tidak merasakan apa-apa
ketika melihat mereka bersama. Aku hanya butuh waktu.
Kebetulan,
dia adalah tour guide-ku selama di
Pulau Bali. Sebenarnya, ini bukan kali pertamanya aku menginjakkan kaki di
Pulau Seribu Pura. Tapi entah bagaimana, kali ini aku berniat untuk menggunakan
jasa tour guide. Aku memanggilnya Bli
Putu. Seperti orang Bali pada umumnya: dia tampan dan manis. Pertama kali
bertemu dengannya, langsung saja aku memberi nilai plus tujuh untuknya. Dia sangat ramah juga senang sekali
tersenyum—aku bertanya-tanya, mengapa setiap kali melihatnya tersenyum, bibirku
secara otomatis juga ikut melengkung? Penilaianku terhadapnya naik menjadi
delapan setelah mengetahui dia juga mempunyai lesung pipit.
Keadaan
hatiku yang tidak begitu baik membuatku lebih banyak diam. Entah kebetulan atau
bagaimana, justru Bli Putu lah yang seringkali berbicara—di luar tugasnya
sebagai tour guide. Mungkin inilah
yang membuatku cepat sekali akrab dengannya.
“Mengapa banyak wanita yang rela meneteskan air matanya
untuk pria yang sebenarnya tak pantas ditangisi? Menurutmu bagaimana?” katanya
saat itu sambil berkerut samar.
Aku justru terdiam sembari memandangi deburan ombak Pantai
Kuta yang saling berkejaran. Semburat cahaya oranye berpendar-pendar dalam
ingatanku. Seharusnya ini adalah momen terindah: ketika matahari mulai kembali
ke peraduannya. Seharusnya aku bahagia karena berhasil menyaksikan matahari
tenggelam di Pantai Kuta. Namun mengapa yang kurasakan hanyalah sesak? Kupejamkan
kedua mataku sejenak saat hatiku kembali disesaki pilu. Aku kembali merasakan
sebuah kenyataan yang lagi-lagi menamparku. Kenyataan bahwa aku adalah wanita
yang tak terpilih.
Dengan seutas senyum getir yang terukir di bibir, kujawab
pertanyaannya dengan sangat sederhana, “Karena mereka merasa tersakiti…,” Aku
menatap udeng merah bermotif batik di atas kepalanya saat menjawab. Dia masih
tidak mengerti dan memintaku untuk menjelaskan melalui gerakan matanya. “…menurutmu
apa yang pertama kali mereka lakukan saat disakiti? Pergi ke kelab lalu minum cocktail? Yang mereka percaya saat itu hanya satu:
orang yang disayang telah tega melukai.”
Aku memejamkan mata lagi, mencegah air mata yang rasanya
ingin jatuh. Saat itu, yang bisa kudengar hanyalah suara gemeretak hatiku yang
hancur berkeping-keping. Segala kesedihan di dalam hati telah hancur menjadi
debu.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir
melihat perubahan air mukaku. Kuangkat wajahku untuk menatapnya.
“Aku ingin mengaku … aku bukan wanita munafik yang akan
bilang aku baik-baik saja. Bli, katakan padaku, apa yang harus kulakukan?”
Aku tidak ingat, apakah saat itu aku memikirkan rasa malu atau
tidak. Yang kuingat, hari itu aku menangis di pelukannya.
***
“Hari ini kita akan ke mana?” tanyaku sambil meneliti peta
di tangan. Kuangkat mukaku karena aku tak mendengar jawaban Bli Putu. Ia tampak
berpikir sambil menggosok-gosok dagunya yang licin. Seperti ada yang
menggelitik ketika melihat ekspresi seriusnya itu.
“Kau ingin
ke Bedugul atau ke Tanah Lot?” gumamnya. Aku mengernyit, mengapa Bli Putu
bertanya kembali kepadaku? “Maksudku, dua-duanya adalah objek yang sangat
menarik. Aku ingin tahu, mana yang lebih kausukai?”
Aku
tersenyum tipis. “Kurasa, aku ingin ke Bedugul dulu.”
Karena Bedugul berada di ketinggian lebih dari seribu meter,
setiap harinya objek wisata ini selalu diselimuti kabut. Selain itu, kawasan
ini akan sejuk sepanjang hari.
Keindahan
alam yang tak ingin kulewatkan juga bisa dinikmati melalui jendela besar yang
terbuat dari kaca sebuah kafetaria di dekat danau. Adalah yang sangat
menyenangkan bila ditemani dengan minuman hangat.
“Hari ini,
biarkan aku meneraktirmu. Kau mau pesan apa?” tanyanya seperti pelayan saja.
Aku mengangkat kedua alisku sambil berkata, “Terserah kau saja.”
“Mm, begini
saja, apa minuman kesukaanmu?”
Aku
mengangkat bahu, “Aku tidak tahu. Mm, aku minum apa saja.”
“Bagaimana
bisa tidak tahu? Lalu, minuman kesukaan ibumu, apa kau tahu?”
“Tentu.
Kopi hitam.”
“Adik
laki-lakimu?”
“Mm, dia
sering memesan americano. Sering
sekali. Kurasa itu minuman kesukaannya,” kataku membuat ekspresi aneh di wajah
Bli Putu. Aku mengernyit tidak mengerti. Memangnya aku salah bicara, ya?
“Astaga!
Lihatlah, kau bahkan tidak mengenal dirimu sendiri!”
Aku
tertegun. “Apa maksudmu?”
“Kau sangat
paham dengan apa yang disukai orang-orang sekitarmu. Tapi, kau tidak paham
dengan apa yang kausukai. Inilah yang kutakutkan: kau tidak mengenal dirimu
sendiri.” Dia bangkit dari kursinya lalu berjalan meninggalkanku. Kurasa dia
akan memesan minuman.
Kualihkan
kembali perhatianku memandangi keindahan danau dan pura besar yang diselubungi
kabut lumayan tebal itu. Udara semakin dingin. Bukan tidak mungkin sore hari
akan turun hujan.
Telingaku menangkap
suara ketukan sepatu Bli Putu dengan porselen yang mendekat, secara otomatis
kualihkan pandanganku lagi kepadanya. Aku melempar pandangan tak mengerti saat
Bli Putu telah duduk di kursinya. Dia membawa nampan dengan bermacam minuman
kafein di atasnya. Suaraku tiba-tiba menghilang ketika tebakanku benar.
Minuman-minuman itu untukku.
Kutelan
ludahku sebelum berbicara, “A… aku benar-benar tidak mengerti,”
Dia
menyeringai ke arahku. “Cobalah satu per satu! Sebentar lagi, kau akan
mengetahui hal baru.” katanya meyakinkanku. Walaupun aku ragu, tapi tanpa
berpikir lebih lama, kuturuti perintahnya.
Kuulurkan
tanganku meraih salah satu cangkir berisi kopi—aku tidak tahu apakah ini kopi
susu atau bukan—lalu perlahan-lahan mulai menyesapnya. Mencoba merasakan
rasanya yang berbeda dengan kopi hitam yang biasa kuminum. “Not bad,” ucapku sambil mengambil
cangkir-cangkir lainnya.
“Mana yang
lebih kausukai?” dia sedari tadi mengamatiku sambil bersedekap. Aku menggigit
bibir atasku sebelum menjawab, “Yang ini…,” aku menunjuk salah satu kopi yang
masih tak kuketahui apa namanya dengan telunjukku. Yang pasti, rasanya enak
sekali—menurutku.
“Jadi…,”
dia berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya, “…lain kali, jika ditanya ingin
memesan apa, kau harus sudah bisa menjawab.”
“Memangnya
apa minuman kesukaanku?”
“Cappuccino.”
To be continued ...