Sungguh, aku
tak pernah menyesal mengenalmu. Sama sekali tidak ada alasan untukku
membencimu. Sekalipun kau telah pergi dariku. Entahlah… hatiku selalu
menolak tiap kali aku ingin membencimu.
Terima kasih! Sungguh, kau telah mengajariku untuk terus bertahan menunggumu. Tentu saja, hingga kau kembali.
Aku
tersenyum miris. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bagaimana kau
meninggalkanku. Bak sebuah film, kejadian itu kembali terputar jelas.
Mataku memanas. Pandanganku kabur, terhalang oleh cairan bening yang
mulai menggenang di pelupuk mataku.
Tetap tersenyum, tetes demi
tetes air mataku meleleh. Segera kuusap kasar dengan punggung tanganku.
Karena aku tau, kau sangat membenci setiap tetes air mata yang jatuh
dari pelupuk mataku….
***
“Aku akan pergi… jauh! Tapi, aku
janji akan kembali,” Ucapmu yang seketika saja membuat napasku tercekat.
Cappuccino di tanganku tiba-tiba saja terjatuh dari genggamanku. Aku
mendongak menatap kedua telaga bening milikmu.
“Berapa lama?” tanyaku, bibirku seketika bergetar menahan tangis.
“Cukup
lama. Tapi, aku janji, sayang. Aku akan kembali untukmu… Tunggulah aku
di bawah pohon akasia ini. Aku akan kembali. Percayalah…!!” Aku
memejamkan mataku frustasi. Perlahan cairan bening ini menerobos melalui
celah-celah mata terpejamku. Aku tak bisa menahannya agar tetap
bersembunyi pada bola mata bundarku. Ini berat! Ini benar-benar berat
untukku. Berpisah dengan orang yang amat kucintai. Sesakit inikah
rasanya?
“Hei.. hei.. Jangan pernah menangis karenaku.
Aku akan sangat berdosa bila melukai hatimu…” Ibu jarinya bergerak
menghapus air mataku yang masih mengalir. Segera kubuka kelopak mataku
lalu tersenyum simpul ke arahnya. Aku tak ingin ia merasa bersalah
kepadaku.
“Aku pasti menunggumu…” Aku menarik punggungnya
mendekat ke tubuhku. Kupeluk erat tubuhnya dan menyandarkan kepalaku
dalam dada bidangnya. Aku sungguh beruntung dapat memilikinya, menangis
dalam pelukannya, dan dapat mencium pipinya. Kurasakan tangannya
membelai lembut rambut kecokelatanku. Aku kembali tersenyum dalam hangat
dekapannya.
“Don’t forget for smile… I really love you, baby!” ikrarnya sembari merenggangkan pelukanku.
“I
love you more…” ujarku kemudian. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Dapat kurasakan hembusan napasnya menyapu lembut wajahku. Aku hanya bisa
memejamkan mataku saat ia mengecup kening, hidung, dan bibirku sekilas.
Setelah itu, kulihat punggungnya yang menjauh. Ia pergi…?!
***
Tiga
tahun berlalu begitu lamban bagiku. Aku tetap menunggu Dean hingga ia
kembali. Pemuda beralis tebal itu mampu membuatku hampir gila karena
kepergiannya, dulu.
Kakiku terus melangkah sesuai tujuan. Di tanganku terdapat segelas cappuccino hangat.
Aku masih memenuhi janjiku pada Dean. Menunggunya di bawah pohon
akasia. Tak pernah bosan, karena Dean pun tak pernah bosan kepadaku.
Mungkin!
Aku berhenti tepat di bawah pohon akasia yang lebat. Segera kusandarkan tubuhku ke tubuh kokoh pohon ini sembari menyeruput cappuccino
hangat di tanganku. Aku tersenyum bangga, karena hingga saat ini aku
masih sanggup bertahan menunggunya tanpa tau kapan ia akan kembali. Akan
kubuktikan padanya bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya. Amat
mencintainya…
Aku kembali menyeruput cappuccino-ku saat
tiba-tiba Eva berlari ke arahku. Eva, sahabatku satu ini adalah tempat
mencurahkan segala keluh-kesahku. Ia mengetahui betul hubunganku dengan
Dean. Eva lah yang paling mengertiku saat aku terpuruk karena Dean. Ia
selalu memberiku semangat untuk bangkit dan terus bertahan saat aku
mulai dilanda keputus asaan.
Aku melipat keningku hingga menjadi
beberapa lipatan. Eva menarik tanganku tanpa berkata apapun. Aku bingung
dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Eva, kenapa?” tanyaku bosan. Ia tersenyum ke arahku.
“Lila, ada kabar baik! Dean telah kembali… Ayo, ikut aku…!!”
Eva
kembali menarik-narik tanganku untuk mengikutinya. Aku kembali
melepaskan genggamannya, kali ini lebih kasar. Ia menatapku bingung.
“Dean
tidak pernah berkata kepadaku, jika aku yang harus menemuinya!! Dean
yang akan menemuiku di sini, Eva! Dan aku percaya padanya!!” jeritku
histeris. Mataku memanas, wajahku merah menahan amarah. Aku percaya,
jika memang Dean masih mencintaiku, ia akan menemuiku di sini. Aku
percaya itu!
Aku mendongak menahan cairan bening yang
mulai mengumpul di pelupuk mataku. Tak kubiarkan air mata ini terjatuh
kembali. Kurasakan tangan Eva menepuk lembut punggungku.
“CUKUP,
La!! Sampai kapan kau akan terus begini?!! Menangislah! Jangan pernah
menahannya!! Menangislah, keluarkan segala hal yang mengganjal di
hatimu. Itu jauh lebih baik daripada kau menahannya!! Menangislah…!!”
Aku menatapnya dalam. Kurasakan sesuatu tiba-tiba menghimpit dadaku.
Tanganku terkepal memukul pelan dadaku yang tiba-tiba sesak. Kakiku
melemas hingga aku merosot ke tanah. Aku menunduk, kembali menahan
tangisku.
Hingga aku benar-benar tak kuat lagi menahan desakan di
dadaku. Meledak! Aku menangis, sungguh-sungguh menangis sesenggukan.
Tanganku lebih keras memukul dadaku hingga menimbulkan nyeri.
Eva
meraihku dalam pelukannya. Sudah lama sakit ini kupendam. Hingga tiba
puncaknya, aku tak dapat lagi, memendam lagi… Maafkan aku, Dean…
***
Ingatkah kau, atas janjimu
Di saat senja kala itu?
Masih mampukah, memori otakmu
Mengingat namaku?
Masih adakah, kenangan indahmu
Dulu, bersamaku?
Taukah kau, sayang?
Di sini aku merindumu
Ditemani kehampaan ruang
Yang membingkai kekosongan hati dan jiwaku...
Senja kala itu, saksi bisu kesendirianku
Sayang, aku di sini menunggumu....
Masih sama… Aku menyeruput cappuccino-ku di bawah naungan pohon akasia ini. Masih sama… Masih menunggunya…
Aku
menatap siluet seseorang di belakangku. Kuputar tubuhku hingga mataku
menangkapnya. Seorang laki-laki dengan T-shirt bertuliskan ‘You grow to spring Me’ berwarna merah di hadapanku.
“Dean!” pekikku.
Jantungku berdegup lebih kencang kali ini. Mataku tak lepas dari sosok di depanku.
“Hai,” sapanya lembut.
Bibirku terasa kelu, tak mampu mengucap sepatah kata pun.
“Apa kabar?” tanyanya seraya tersenyum manis.
Aku masih terdiam. Kupandangi wajahnya secara intens. Memastikan ini bukan hanya halusinasiku.
“Kenapa,
Lila?” tanyanya lagi. Aku berhambur ke arahnya. Kupeluk erat-erat sosok
yang sangat kunantikan ini. Kudengar isak tangis yang mulai memenuhi
ruang dengarku. Ia membalas pelukanku erat sekali.
Berkali-kali ia
menciumi puncak kepalaku. Di sela-sela tangisku, kuhirup aroma tubuhnya
yang menyegarkan. Aroma yang seketika membuatku lebih tenang.
Kurenggangkan pelukannya dan menatap wajah indahnya.
“Masih ingin pergi lagi?” ia menggeleng sembari tersenyum.
“Ini
cukup membuatku hampir mati,” bisiknya lembut di telingaku. Aku
tersenyum manis ke arahnya. Tiba-tiba, Ia berlutut di hadapanku seraya
mengecup lembut punggung tanganku.
Tak lama, ia menyodorkan sebuah
cincin belian yang tersimpan dalam sebuah kotak berbeludru merah. Aku
menutup mulutku dengan tangan kiriku.
“Lila, will you marry me…?”
Setetes
air mataku meluncur bebas melalui pipiku. Namun kali ini aku menangis
karena bahagia. Tanpa ragu kuanggukkan kepalaku. Ia tersenyum sangat
manis. Dipasangkannya cincin itu ke jari manisku. Lalu, ia berdiri untuk
memelukku sembari bergumam lirih, “Untuk kekasihku yang luar biasa, aku
mencintaimu…”
Cinta sejati tak mengenal jarak, ruang, dan waktu. Pada saatnya ia pun akan berbicara dan membuktikannya ada….
-Selesai-