Selasa, 25 Desember 2012

flash fiction, "Untuk Sebuah Masa Lalu"

Diposting oleh Unknown di 09:58

Written by. Dian Agustin

    Di ujung sebuah senja. Ketika mataku menatap hamparan awan berarak yang menggantung di langit, ketika angin membawa kembali rasa itu, rasa dalam hati yang kuanggap anugerah dari Sang Kuasa untukku. Seketika itupun aku mengenangmu ….
    Aku kembali merasakan apa yang disebut kehilangan. Kehilangan sebagian jiwa, kehilangan sebagian hati, dan seluruh harapan. Harapan yang telah lama kuhiraukan, dan akhirnya … mati. Aku merindukan sosok berkharisma itu. Aku merindukan tanganmu yang seolah melindungiku, merangkulku tanpa rasa lelah. Dan aku rindu padamu.
    Hei, kamu apa kabar?
    Pertanyaan itu selalu menyelubungi pikiranku, dan yang pada akhirnya hilang bersama helaan napasku. Hh, aku lelah. Aku lelah ketika harus kembali meyakinkan diri sendiri, kamu telah pergi bersama hembusan angin. Membawa sejuta kisah cinta dan harapanku. Aku lelah karena selalu berharap pada angin agar mereka membawa serta tangisku dalam hijrahnya, membawa serta lukaku pada setiap jejaknya. Aku lelah dan kamu harus tahu itu.
    Cinta adalah ketika ‘perasa’nya tidak peduli seberapa banyak airmata yang ia jatuhkan demi orang yang dikasihinya …
    Ketahuilah, aku ingin mencintaimu tanpa batas. Aku juga ingin menangisimu tanpa batas. Tapi, aku tidak ingin lagi mencari harapan yang telah terkubur jauh bersama anganku tentangmu. Karena aku dan kamu tak akan lagi menjadi kita. Namun, hanya sebuah kenangan manis dan pahit di masa lalu.
    Aku hanya akan mencari sebuah harapan yang baru. Aku hanya tak ingin terus tenggelam dalam imajiku tentangmu, tentang sebuah masa lalu. Karena aku punya masa depan, aku juga harus memberi kesempatan untuk orang lain hadir dalam jiwaku dan hatiku. Mengisi kembali separuh bagian yang hilang bersamamu. Menjadi sebuah harapan baru yang kuharap akan membawaku ke singgasana baru yang lebih ‘wah!’. Dan itu adalah hatinya, bukan lagi hatimu.
    Biarlah angin membawa serta dirimu dan lukaku, serta akar rinduku untukmu ….

Sabtu, 22 Desember 2012

My Antologi with Deka Publishing =')

Diposting oleh Unknown di 14:06
TELAH TERBIT…!!!

Ini Covernya :')


Judul : Kesetiaan Hati Sang Bintang
Penulis : Nenny Makmun, Gemintang Halimatussa'diah, Muhammad Zuhri, dkk
Penerbit : deKa Publishing
ISBN 978-602-17198-9-3
Tebal : vi+112 hlm.; 13 x 19 cm
Harga : Rp. 30.000,- (belum termasuk ongkir)
Harga Kontributor : Rp. 24.000,- (belum termasuk ongkir)


Kutipan cerita :
Tidak cukup sampai di situ, perasaan Haura lebih terasa kian teraduk-teraduk ketika ia mengetahui kedatangan Bintang adalah untuk melamar dirinya. Kaget, tak percaya, bahagia, bersyukur, semua campur aduk dirasakan hatinya. Sosok pria yang diperebutkan banyak gadis itu, kini malah memintanya untuk menjadi istrinya! Ia bahkan tak berani memikirkan hal seindah itu! (Kesetiaan Hati Sang Bintang - Gemintang Halimatussa’diah)

Gadis itulah yang memetamorfosis kehidupan Izul, Enam huruf yang mengajaknya pada enam keimanan terhadap sang pencipta. “Yakinlah, apapun yang terjadi kepada kita nanti merupakan keputusan terbaik dari Allah. Dengan cara seperti inilah saya menjaga kemurniannya, tidak ada yang perlu kita takuti, keputusan Allah tidak akan menyakiti” kalimat itulah yang menyihir kematian hati menjadi hidup... (Senja di Penghujung Rajab - Muhammad Zuhri Anshari Putra)


Kontributor :
Achmad A. Arifin | Ami ChipoChipo | Anik Wikantari | Anung D'Lizta | Dedul Faithful | Dhee Tha | Ferawati | Gemintang Halimatussa’diah | Gluck Fraulein | Hilda Febrina | Kamiluddin Aziz | Ken Hanggara | Luluk Kristianingsih | Muhammad Zuhri Anshari | Musni Wulandari | Mutiq Jujazki | Naelil | Nenny Makmun | Novelia Indri Susanti | NuraRisala Kerinduan | Rahel Simbolon | Rere Z | Resha T. Novia | Ria Hidayah | Rosidah Al Bana | Sarviany Tiacoly | Shintany | Vina V Katerwilson | Vinny Erika Putri | Rescue Iffah | Wingless Angel | Yeyen Rulyan | Zahrotun Nafisah | Zhazha Aprilia

***

[CARA PEMESANAN]

Ketik SMS :

# HAS KHSB #
Nama penerima :
Alamat lengkap :
Kodepos :
Jumlah :
No. HP :

Kirim ke 083879804181 atau inbox DeKa Publisher atau invite pin BB 31577AE8 :)
Kami akan mengirimkan total yang harus dibayar serta pemberitahuan nomor rekening.

Happy shopping...!


Kamis, 20 Desember 2012

"Tentang Hujan"

Diposting oleh Unknown di 10:07

Rabu, 19 Desember 2012

Cerpen, `Bukan Dia, tapi Aku...`

Diposting oleh Unknown di 21:11

Dinginnya angin malam berhembus pelan menyapu lekuk wajah senduku. Aku tak menghiraukan seberapa menggigilnya aku saat ini. Orang yang kuinginkan untuk menghangatkan hatiku, kini telah pergi untuk menghangatkan hati orang lain. Aku mendongak menatap kelamnya langit malam. Gelap! Sama seperti hatiku saat ini. Tak ada lagi cahaya yang menyinari hatiku, cahaya itu pergi menyinari hati orang lain. Aku tersenyum miris. Kurasakan mataku memanas dan mengeluarkan tetes demi tetes cairan bening, saksi dari kepedihan hatiku yang kian membara.
            Entah sudah berapa tetes air mata yang kukeluarkan. Aku tak peduli. Hatiku terlanjur perih. Kekuatanku seakan hilang dalam sekejap. Ketegaran yang telah kubangun, runtuh dalam hitungan detik. Aku terjatuh! Aku bahkan tak sanggup menopang beban tubuhku sendiri. Aku lemah!
            Aku menekuk kedua lututku dan menenggelamkan wajahku disana. Menangis … hanya menangis yang mampu kulakukan, walau kutahu itu takkan membuat cintaku kembali….
***
            Aku berjalan gontai menyusuri koridor kampus menuju kantin bersama sahabatku, Fitri. Aku dan Fitri berjalan beriringan dalam diam. Mungkin Fitri tahu jika aku enggan untuk berbicara lantaran suasana hatiku yang sedang sangat kacau. Mataku kembali memanas ketika Davo, mantan kekasihku, berjalan ke arahku. Disampingnya, ada seorang gadis cantik yang bergelayut manja di lengan kirinya. Aku sadar, kini lengan kekar itu tak lagi milikku, bukan lagi hakku.
            Aku menunduk saat kurasa butiran bening mulai menggenang di pelupuk mata bundarku. Tidak! Aku harus tegar, aku tak boleh menangis di hadapan Davo, walau aku pun tahu ini sangat menyakitkan. Aku harus bisa merelakan Davo untuk Reva. Ini demi kebaikan mereka. Aku mengusap kasar air mata yang perlahan jatuh membasahi pipiku.
            Aku kembali mendongak saat di hadapanku berdiri dua orang yang telah sengaja membuat hatiku merasakan perih, dua orang yang sanggup membuatku menangis, membiarkan air mata ini terjatuh untuk mereka. Aku tersenyum menatap kedua orang itu. Senyum yang sebenarnya sanggup melukai relung jiwaku.
            Reva membalas senyumku hangat. Sedangkan Davo, ia lebih memilih untuk membuang muka. Ah, kau masih saja tampan. Dengan alis tebal yang hampir bertautan, hidung yang mancung, dan garis wajah yang tegas mempu membuatku selalu memujanya. Ah! Aku kembali tersadar, wajah menawan itu bukan lagi milikku.
            “Terima kasih, Ima, Kau telah merelakan Davo untukku. Aku tahu kau sakit, maafkan Aku… Aku benar-benar membutuhkannya disisa-sisa umurku. Aku mohon, jangan pernah membenci Davo. Ia tak pantas kau benci. Maafkan aku….” Davo mengusap air mata Reva yang mulai menetes. Jelas saja, aku iri terhadapnya. Setiap kali ia menangis, selalu ada orang yang menghapus air matanya. Sedangkan Aku? Apa aku tak berhak marah? Apa Aku tak boleh iri kepadanya? Aku rapuh! Air mataku kembali tumpah. Aku tak sanggup jika harus membendungnya lebih lama lagi. Aku cemburu terhadap Reva. Ia bahkan berhasil mendapatkan Davo, orang yang sangat kucintai. Sedangkan Aku, apa yang bisa kuperbuat?! Aku hanya bisa merelakannya walau hati ini terasa tercabik-cabik. Aku tak berdaya menahannya, cintaku telah pergi ke lain hati.
“Semoga kalian langgeng!” ujarku menahan sesak. Fitri mengusap pundakku-menguatkanku agar tetap teguh. Fitri menuntunku menjauhi kedua orang itu. Mungkin Fitri tahu bahwa aku telah sangat sakit. Tapi belum jauh aku melangkah, sebuah tangan mencegahku untuk pergi. Aku menoleh ke arahnya... Reva. Ah, kupikir yang menahanku tadi adalah tangan....
“Apa?”
“Ini undangan pernikahan kami. Datanglah... kumohon! Dan ini untukmu, Fit!” ujar Reva seraya menyodorkan undangan yang terlilit pita berwarna merah kepadaku dan Fitri. DEG! Napasku tercekat, tubuhku seketika melemas. Aku menatap kosong undangan itu tanpa mengambilnya. Hatiku tergores kembali untuk kesekian kalinya. Air mataku kembali menetes. Tuhan, apa belum cukup kau menyiksaku hari ini? Apa masih ada lagi kejutan untukku?
“Aku dan Davo akan menunggumu. Kalau kau tidak datang, kami tak akan memulai pernikahan kami,” lanjutnya seraya mengusap air mataku. Aku tersenyum kecut dan mengambil undangan itu. Aku memandang Davo yang sedari tadi diam. Apa lelaki itu tak tahu bahwa aku ingin sekali memeluknya dan menangis dalam dekapan dada bidangnya itu?
“Aku akan datang!”
***
Aku sudah mengetahuinya…
Ada gadis lain di sisinya…
Aku merelakannya…
Meskipun aku tahu…
Rasa sakit,
Tetap saja terasa….

(BLAM!)
Aku menutup pintu kamarku dengan keras, menguncinya, dan menyandarkan kepalaku pada pintu yang telah tertutup rapat. Aku memejamkan kedua mataku, merasakan sesak yang tiba-tiba menghimpit dadaku. Perlahan cairan bening ini menerobos melalui celah-celah mata terpejamku.
Aku tak bisa menahannya, menahan air mata agar tetap bersembunyi pada bola mata bundarku. Aku tak bisa! Seperti aku yang tak bisa menahan Davo agar tetap tersimpan dalam hatiku. Setidaknya … untuk sekedar mencurahkan cintaku padanya, aku tak bisa.
Perlahan kubuka kelopak mata ini, dan menghapus air mata yang telah menganak sungai dipipiku. Sebuah kotak yang tergeletak di atas laci samping ranjang, menarik perhatianku. Aku mendekati kotak itu dan mengambilnya.
Ku usap perlahan lapisan debu yang melapisi kotak itu dan membuka kotak yang berisi setiap kenangan manisku bersama Davo. Benda pertama yang menarik perhatianku adalah selembar foto berisi dua insan remaja yang tengah tertawa bahagia … dengan pipi seorang gadis dalam gambar yang terlumuri es krim dan seorang lelaki yang sedang menertawai gadis itu. Itu aku dan Davo….
Aku begitu merindukan saat-saat bersamamu, Davo. Aku mohon, kembalilah kepadaku. Aku janji, jika kau mau kembali kepadaku, kau boleh menertawaiku sepuasnya sebab hal-hal ceroboh yang kulakukan. Tapi, ayo! Kembali padaku!! Aku membutuhkanmu, Davo!!
Cairan bening itu kembali terjatuh mengaliri pipiku. Semakin aku mengusapnya, semakin deras pula air mata yang mengalir. Aku berbaring menatap langit-langit kamarku, pikiranku jauh melayang. Kubiarkan air mata ini terjatuh percuma untuk Davo. Perlahan, rasa kantuk mulai melandaku, karena hari ini aku lelah sekali, baik lelah fisik maupun batin, akhirnya kuputuskan untuk kembali bersemayam ke mimpi, alam keduaku.

***
            Aku menatap pantulan diriku dalam cermin besar. Dress biru laut selututku nampak pas dengan tubuh mungilku. Mataku masih saja sembab setelah seharian ini Aku terus menangis. Aku kecewa dengan orang-orang yang tega menyakitiku. Aku kecewa dengan orang-orang yang telah merebut hatiku. Aku kecewa pada diriku sendiri yang hanya bisa merelakan cintaku pergi ke cinta lain. Aku kecewa!! Aku lelah menghadapi semua ini, Tuhan! Aku lelah!! Peluk aku, Tuhan… sebentar saja.
            Aku menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan kedua mataku. Meresapi setiap udara yang melintas lembut di rongga hidungku. Aku membuka kelopak mataku setelah kutemukan ketenangan dalam jiwaku. Aku memutuskan untuk pergi ke sana, ke pernikahan Davo dan Reva. Tuhan, teguhkan hatiku….
***
            Davo tampak tampan dengan tuxedo hitamnya, sedangkan Reva sangat anggun dengan balutan gaun panjang putih dan rambut tergulung ke atas. Reva menatapku seraya tersenyum. Aku membalas senyumnya hangat. Pandanganku beralih pada Davo yang rupanya juga menatapku. Aku tak tahu arti pandangan itu padaku... yang kutahu, Davo pasti sangat bahagia dengan gadis di sampingnya itu. Aku tersadar dan segera membuang muka. Aku tak sanggup menatap dalam matanya. Mata itu terlalu menyakitkan untukku.
            “Baiklah, kita mulai acara pernikahan ini. Ayo, Reva, pasangkan cincin itu ke jari manis Davo,” perintah ayah Reva. Reva segera menyematkan cincin berlian itu ke jari manis Davo.
            “Nah, sekarang giliranmu, Davo....” Davo segera mengambil cincin itu dan kembali menatapku. Aku menunduk–mengalihkan perhatianku dari hal menyakitkan bagiku. Aku tak rela melihat orang yang sangat kucinta bersanding dengan orang lain. Aku tak rela! Namun, aku bisa apa?
            Davo kembali menatap cincin itu dan segera memasukkannya pada jari lentik Reva. Suara sorakan tepuk tangan memenuhi ruang dengarku. Aku diam-diam berlari keluar dengan air mata yang kian deras. Aku berlari ke pekarangan rumah Reva seraya menangis. Menangis dalam sunyinya malam. Kenyataan ini benar-benar sulit kuterima. Aku tak bisa melepas Davo.
            “KEMBALIKAN DIA UNTUKKU, TUHAN! AKU BUTUH DIA!!” Aku berteriak menumpahkan amarah yang terus bergejolak dalam dada. Aku tak peduli bila orang-orang menatapku aneh atau apapun itu, aku tak peduli. Hatiku terlanjur pedih!
            “Ima!!” Aku menoleh ke belakang-ke arah orang yang memanggilku. “Davo?”
            Aku berlari ke arahnya dan memeluknya… memeluk dengan sangat erat seakan tak kuizinkan ia pergi lagi dariku. Davo membalas pelukanku sangat erat.
            “Jangan tinggalkan Aku, Davo!” pintaku disela-sela tangisku. Ia melepaskan pelukanku dan menghapus lembut air mataku. Aku sangat merindukanmu, Davo!!
            “Maafkan aku,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Ia memelukku lagi dan memererat pelukannya.
            “Aku harus kembali … carilah pengganti yang lebih baik dariku, Ima. Aku menyayangimu!” ia mulai merenggangkan pelukannya dan mengecup lembut keningku. Davo membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhiku. Aku menatap punggung besarnya yang menjauh hingga benar-benar hilang dari pandanganku. Aku menggelengkan kepala tak percaya. Tubuhku merosot jatuh ke tanah.
***
-THE END-
Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah, Tuhanku yang sangat kucinta…
Sempet vacuum, tapi gabisa lama-lama. Cukup 3 bulanan ajah… tangan udah gatel pengen ngetik, mata udah panas pengen liat kririkan kalian. So, sambut aku dengan kritikan kalian yah!! Hehehe.
Udah ah cuap-cuapnya… semoga ga nyakitin mata kalian yah! Feel-nya ga ngena. Mungkin itu yang kalian rasain. So, aku minta maaf dulu deh ^^, jangan kapok yah, baca story-story aku lainnyaa…
Bye-bye-bye!
-Dian Agustin-

Cerpen, “Hilang Tanpa Bekas…”

Diposting oleh Unknown di 21:07

“Hilang Tanpa Bekas…”
Oleh: Dian Agustin

            Apa kalian pernah merasakan luka? Bukan, yang kumaksud di sini adalah luka di hati kalian. Apa kalian pernah merasakannya? Terkadang sebuah luka membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menyembuhkannya. Apalagi ketika kalian menatap wajahnya. Luka lama itu mungkin kembali hadir memahat hati kalian. Dada kalian bergetar hebat dan menyesakkan. Begitukah rasanya?
***
~Flashback~

            Kuketuk pintu sebuah rumah sederhana namun sangat asri itu. Kutarik napasku panjang sampai kurasakan paru-paruku penuh terisi udara, kemudian menghembuskannya. Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengannya. Dan efeknya, aku sangat rindu padanya!
            Tak lama, seorang pria bertubuh jangkung membukakan pintu untukku. Aku tersenyum ke arah pria berwajah manis di hadapanku. Alis tebalnya yang hampir betaut dengan hidung sedikit mancung, mampu membuatku jatuh hati kepadanya. Dia Davo, kekasihku….
            Lama dia diam, aku pun diam. Entah mengapa, aku merasa ada kecanggungan di antara kita. Aku menatap wajahnya yang menunjukkan raut muka gelisah. Dia … aneh. Tak seperti biasanya dia seperti ini.
            “Ehm… Kinan! Ada apa kamu ke mari?” tanyanya kepadaku yang sedang memerhatikannya. Bingung.
“Masuklah…” dia memberiku jalan, aku melewatinya dan berjalan menuju ruang tamunya. Tapi, dia menarik tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku kaget namun tanganku balas merangkulnya. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang tak teratur. Aku mempererat pelukannya. Kusembunyikan kepalaku di bawah leher jenjangnya. Itu kebiasaanku saat memeluknya. Dapat kurasakan aroma maskulin dari tubuhnya yang menyegarkan.
“Aku kangen banget sama kamu!” ia berkata seraya menciumi puncak kepalaku dan aku sangat menikmatinya.
“Aku juga, Davo…” ujarku lirih dan kurasa ia mampu mendengarnya. Ia mulai merenggangkan pelukannya dan mempersilahkanku untuk duduk.
            Aku duduk berhadapan dengannya. Kuperhatikan wajahnya yang begitu menawan. Entah mengapa, aku tak pernah jenuh untuk memandangnya. Mata tajamnya yang meneduhkan dan senyumnya yang sangat indah dipandang mata. Aku begitu mencintainya…
“Udah tiga hari kamu nggak ada kabar. Ke mana aja?” tanyaku membuka pembicaraan. Raut wajahnya yang semula tenang, kembali gelisah.
“Umm… aku sangat sibuk akhir-akhir ini…” jelasnya. Aku membulatkan mulutku.
“Sibuk apa?” tanyaku lagi-mengintrogasinya.
“Kinan, ada sesuatu yang ingin kukatakan,” keningku berkerut seakan-akan mengatakan ‘Apa?’ kepadanya. Sepertinya dia paham dan melanjutkan perkataannya.
“Aku dijodohkan!” napasku tercekat mendengarnya. Dua kata … ya! Hanya dua kata yang mampu membuatku sesak. Aku diam menunggu penjelasannya.
“Ya… aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku dengan seorang gadis belia. Gadis itu depresi setelah dia tau kalau dirinya hamil. Dia … dinodai oleh mantan pacarnya yang sekarang menghilang. Aku terpaksa…”
            Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Cairan bening itu mulai mengaliri pipiku. Aku  tak tau apa yang aku rasakan sekarang. Yang pasti aku sangat kecewa dan sakit! Aku menggigit bibir bawahku–menahan rasa sesak di dada. Namun sesak itu enggan untuk hilang.
            “Terus,… hubungan kita…?” lirihku bergetar. Air mataku terus mengalir … semakin deras dan deras lagi.
“Maafin aku, Kinan!” aku menunduk menahan sakit di hatiku. Inikah perpisahan? Seperti inikah sakitnya perpisahan?
            Davo mencondongkan tubuhnya dan memelukku. Dia memelukku erat namun aku tak membalasnya. Aku tetap mematung.
“Kinan… jangan kayak gini. Jangan diem aja. Kamu boleh pukul aku! Kamu boleh hina aku! Ayo Kinan… jangan gini! Pukul aku… pukul!!” aku tetap diam. Bahuku samakin bergetar karna tangisku yang semakin deras mengalir. Perlahan kurenggangkan pelukannya dan berlari keluar rumah.
***
            Aku menatap langit senja yang tak lagi indah. Suram. Awannya hitam pekat saperti hatiku. Kilat menyambar-nyambar disusul bunyi gemuruh yang menakutkan. Aku terus berlari tanpa memepdulikan tetes demi tetes air dari langit yang semakin lama semakin menusuk kepalaku. Aku mendengar teriakan Davo yang sepertinya mengikutiku. Aku tetap berlari menerobos lebatnya hujan yang membuat pandanganku semakin tidak jelas. Aku terjatuh karena tersandung batu. Lututku berdarah karena aku hanya mengenakan dress selutut tanpa lengan.
            Davo menghampiriku dan membantuku untuk berdiri. Aku menepis kasar tangannya dan mencoba berdiri sendiri walaupun sulit. Davo menatapku iba. Rasanya aku belum siap untuk bertemu dengannya. Itu membuatku semakin perih. Aku kembali menjauh namun dengan jalanku yang terpincang-pincang. It’s over!! Selesai! Ini akhir ceritaku dengan Davo!
            Davo menyusulku dan memasangkan jaketnya ke tubuh ringkihku. Tubuhku tambah bergetar kedinginan. Davo mencengkeram lenganku agar aku tak lagi menjauhinya.
“Bibirmu pucat…” dia menyentuh bibirku namun segera kupalingkan wajahku.
“Lihat mataku, Kinan!” ucapnya penuh penekanan. Mata elangnya menatapku tajam. Aku bahkan tak berani menatap tangannya yang mencengkeram lenganku.
“Enggak!” jeritku di tengah hujan yang mengguyur tubuh kita berdua.
“KINAN!!” teriaknya yang membuatku semakin takut. Kupalingkan wajahku menghadapnya. Mataku menatap mata teduhnya. Mata itu … mengingatkanku pada semua kenangan indahku bersamanya. Aku kembali menangis. Air mataku beradu dengan derasnya air hujan.
“Maaf!” dia menarikku ke dalam pelukannya. Tubuhnya hangat dan nyaman. Inikah pelukan terakhir darinya? Aku memukul pelan dada bidangnya. Dia diam saja dan semakin mempererat pelukannya.
“Kamu jahat! Davo jahat! Aku tuh cinta kamu. Kamu nggak mikir apa, gimana sakitnya aku pas lihat kamu sama cewek lain? Kamu punya aku! Bukan punya dia! Kenapa kamu lebih milih dia? Apa kamu udah nggak sayang lagi sama aku? Iya, kan? Jawab Davo!!” tangisku histeris dan memukul dadanya semakin keras. Aku tau, aku memang egois! Aku tau itu!! Tapi apa aku tak berhak untuk bahagia? Apa aku tak boleh memiliki Davo seutuhnya?
“Aku sayang kamu, Kinan! Aku cinta sama kamu… kamlau kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakuin?! Di satu sisi, ada kamu yang aku cinta. Tapi di sisi lain, aku kasian sama dia… please, ngertiin aku… aku janji Cuma kamu di hati aku. Aku emang cowok berengsek! Kamu boleh benci aku. Karna aku udah tega ngelukain hati cewek sebaik kamu. Kamu boleh benci sama aku, Kinan!!” perlahan tanganku mulaiberhenti memukulnya. Aku diam–berpikir. Apa yang dikatakan Davo memang benar. Gadis itu lebih membutuhkannya daripada aku. Terlebih janin yang ada dalam kandungannya. Aku harus mencoba mengerti. Aku tidak boleh egois. Aku bukan orang jahat… tapi, bagaimana denganku?
“Aku udah maafin kamu kok,” hujan mulai berhenti mengguyur bumi ini. Semua awan gelap kini telah berganti dengan langit berkanvas jingga. Davo melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Apa?”
“Jangan suruh aku buat ulangin kata-kata itu lagi… Davo, kamu janji ‘kan bakalan sayang sama aku?” ucapku pelan namun sangat jelas.
“Hati kamu terbuat dari apa sih? Aku nyesel banget udah nyakitin cewek kayak kamu. Aku bangga pernah milikin kamu, Kinan… aku janji!” aku tersenyum tipis dan berjinjit untuk mencium pipi orang di hadapanku ini. Orang yang sangat kusayang… dia membalas dengan mencium keningku lama sekali….
***
            Aku tak pernah sekalipun membenci Davo. Bagaimanapun, dia yang selalu mewarnai hari-hariku. Mungkin raganya memang bukan untukku, tapi aku percaya, hatinya hanya untukku. Aku belajar memaafkan kesalahannya walaupun luka itu sembuh membutuhkan proses. Namun aku telah meyakinkan hatiku untuk memaafkannya dan tidak membencinya. Karena aku percaya, Tuhan punya scenario indah untuk kisah hidupku selanjutnya….

Luka itu … perlahan hilang, hingga tak berbekas….

-The End-


Jumlah kata: 1095 termasuk judul. :)

Tentang Penulis


Dian Agustin, nama indah hadiah kedua orang tuaku untukku. Selama 14 tahun ini, aku masih tinggal bersama orang tuaku. Rumah sederhana namun penuh dengan kenangan indah maupun pahit. Aku tinggal bersama mereka di Jalan Granit Kumala 5.7 no 18 Kota Baru Driyorejo, Gresik kode pos 61177.
Berbicara mengenai kedatanganku di dunia. Momen pertamaku menghirup oksigen di bumi ini terjadi pada tanggal 5 Agustus 1998. Aku masih tercatat sebagai murid kelas 3 SMP di salah satu sekolah negeri di Surabaya. Terima kasih untuk waktu luang yang kau korbankan untuk membaca karyaku ini! Terima kasih!

Cerpen, “True Love…”

Diposting oleh Unknown di 21:04
Masa lalu. Bukan hanya tuk dikenang, melainkan diambil pelajaran berharganya. Bagaimana masa lalu itu membuatmu jauh lebih indah, lebih kuat!


Sungguh, aku tak pernah menyesal mengenalmu. Sama sekali tidak ada alasan untukku membencimu. Sekalipun kau telah pergi dariku. Entahlah… hatiku selalu menolak tiap kali aku ingin membencimu.
Terima kasih! Sungguh, kau telah mengajariku untuk terus bertahan menunggumu. Tentu saja, hingga kau kembali.
Aku tersenyum miris. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bagaimana kau meninggalkanku. Bak sebuah film, kejadian itu kembali terputar jelas. Mataku memanas. Pandanganku kabur, terhalang oleh cairan bening yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
Tetap tersenyum, tetes demi tetes air mataku meleleh. Segera kuusap kasar dengan punggung tanganku. Karena aku tau, kau sangat membenci setiap tetes air mata yang jatuh dari pelupuk mataku….
***
“Aku akan pergi… jauh! Tapi, aku janji akan kembali,” Ucapmu yang seketika saja membuat napasku tercekat. Cappuccino di tanganku tiba-tiba saja terjatuh dari genggamanku. Aku mendongak menatap kedua telaga bening milikmu.
“Berapa lama?” tanyaku, bibirku seketika bergetar menahan tangis.
“Cukup lama. Tapi, aku janji, sayang. Aku akan kembali untukmu… Tunggulah aku di bawah pohon akasia ini. Aku akan kembali. Percayalah…!!” Aku memejamkan mataku frustasi. Perlahan cairan bening ini menerobos melalui celah-celah mata terpejamku. Aku tak bisa menahannya agar tetap bersembunyi pada bola mata bundarku. Ini berat! Ini benar-benar berat untukku. Berpisah dengan orang yang amat kucintai. Sesakit inikah rasanya?
“Hei.. hei.. Jangan pernah menangis karenaku. Aku akan sangat berdosa bila melukai hatimu…” Ibu jarinya bergerak menghapus air mataku yang masih mengalir. Segera kubuka kelopak mataku lalu tersenyum simpul ke arahnya. Aku tak ingin ia merasa bersalah kepadaku.
“Aku pasti menunggumu…” Aku menarik punggungnya mendekat ke tubuhku. Kupeluk erat tubuhnya dan menyandarkan kepalaku dalam dada bidangnya. Aku sungguh beruntung dapat memilikinya, menangis dalam pelukannya, dan dapat mencium pipinya. Kurasakan tangannya membelai lembut rambut kecokelatanku. Aku kembali tersenyum dalam hangat dekapannya.
“Don’t forget for smile… I really love you, baby!” ikrarnya sembari merenggangkan pelukanku.
“I love you more…” ujarku kemudian. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dapat kurasakan hembusan napasnya menyapu lembut wajahku. Aku hanya bisa memejamkan mataku saat ia mengecup kening, hidung, dan bibirku sekilas. Setelah itu, kulihat punggungnya yang menjauh. Ia pergi…?!
***
Tiga tahun berlalu begitu lamban bagiku. Aku tetap menunggu Dean hingga ia kembali. Pemuda beralis tebal itu mampu membuatku hampir gila karena kepergiannya, dulu.
Kakiku terus melangkah sesuai tujuan. Di tanganku terdapat segelas cappuccino hangat. Aku masih memenuhi janjiku pada Dean. Menunggunya di bawah pohon akasia. Tak pernah bosan, karena Dean pun tak pernah bosan kepadaku. Mungkin!
Aku berhenti tepat di bawah pohon akasia yang lebat. Segera kusandarkan tubuhku ke tubuh kokoh pohon ini sembari menyeruput cappuccino hangat di tanganku. Aku tersenyum bangga, karena hingga saat ini aku masih sanggup bertahan menunggunya tanpa tau kapan ia akan kembali. Akan kubuktikan padanya bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya. Amat mencintainya…
Aku kembali menyeruput cappuccino-ku saat tiba-tiba Eva berlari ke arahku. Eva, sahabatku satu ini adalah tempat mencurahkan segala keluh-kesahku. Ia mengetahui betul hubunganku dengan Dean. Eva lah yang paling mengertiku saat aku terpuruk karena Dean. Ia selalu memberiku semangat untuk bangkit dan terus bertahan saat aku mulai dilanda keputus asaan.
Aku melipat keningku hingga menjadi beberapa lipatan. Eva menarik tanganku tanpa berkata apapun. Aku bingung dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Eva, kenapa?” tanyaku bosan. Ia tersenyum ke arahku.
“Lila, ada kabar baik! Dean telah kembali… Ayo, ikut aku…!!”
Eva kembali menarik-narik tanganku untuk mengikutinya. Aku kembali melepaskan genggamannya, kali ini lebih kasar. Ia menatapku bingung.
“Dean tidak pernah berkata kepadaku, jika aku yang harus menemuinya!! Dean yang akan menemuiku di sini, Eva! Dan aku percaya padanya!!” jeritku histeris. Mataku memanas, wajahku merah menahan amarah. Aku percaya, jika memang Dean masih mencintaiku, ia akan menemuiku di sini. Aku percaya itu!
            Aku mendongak menahan cairan bening yang mulai mengumpul di pelupuk mataku. Tak kubiarkan air mata ini terjatuh kembali. Kurasakan tangan Eva menepuk lembut punggungku.
“CUKUP, La!! Sampai kapan kau akan terus begini?!! Menangislah! Jangan pernah menahannya!! Menangislah, keluarkan segala hal yang mengganjal di hatimu. Itu jauh lebih baik daripada kau menahannya!! Menangislah…!!” Aku menatapnya dalam. Kurasakan sesuatu tiba-tiba menghimpit dadaku. Tanganku terkepal memukul pelan dadaku yang tiba-tiba sesak. Kakiku melemas hingga aku merosot ke tanah. Aku menunduk, kembali menahan tangisku.
Hingga aku benar-benar tak kuat lagi menahan desakan di dadaku. Meledak! Aku menangis, sungguh-sungguh menangis sesenggukan. Tanganku lebih keras memukul dadaku hingga menimbulkan nyeri.
Eva meraihku dalam pelukannya. Sudah lama sakit ini kupendam. Hingga tiba puncaknya, aku tak dapat lagi, memendam lagi… Maafkan aku, Dean…
***
 Ingatkah kau, atas janjimu 
 Di saat senja kala itu?
Masih mampukah, memori otakmu 
Mengingat namaku?
Masih adakah, kenangan indahmu 
Dulu, bersamaku?
Taukah kau, sayang?
 Di sini aku merindumu 
 Ditemani kehampaan ruang 
Yang membingkai kekosongan hati dan jiwaku...
Senja kala itu, saksi bisu kesendirianku
 Sayang, aku di sini menunggumu....

Masih sama… Aku menyeruput cappuccino-ku di bawah naungan pohon akasia ini. Masih sama… Masih menunggunya…
Aku menatap siluet seseorang di belakangku. Kuputar tubuhku hingga mataku menangkapnya. Seorang laki-laki dengan T-shirt bertuliskan ‘You grow to spring Me’ berwarna merah di hadapanku.
“Dean!” pekikku.
Jantungku berdegup lebih kencang kali ini. Mataku tak lepas dari sosok di depanku.
“Hai,” sapanya lembut.
Bibirku terasa kelu, tak mampu mengucap sepatah kata pun.
“Apa kabar?” tanyanya seraya tersenyum manis.
Aku masih terdiam. Kupandangi wajahnya secara intens. Memastikan ini bukan hanya halusinasiku.
“Kenapa, Lila?” tanyanya lagi. Aku berhambur ke arahnya. Kupeluk erat-erat sosok yang sangat kunantikan ini. Kudengar isak tangis yang mulai memenuhi ruang dengarku. Ia membalas pelukanku erat sekali.
Berkali-kali ia menciumi puncak kepalaku. Di sela-sela tangisku, kuhirup aroma tubuhnya yang menyegarkan. Aroma yang seketika membuatku lebih tenang. Kurenggangkan pelukannya dan menatap wajah indahnya.
“Masih ingin pergi lagi?” ia menggeleng sembari tersenyum.
“Ini cukup membuatku hampir mati,” bisiknya lembut di telingaku. Aku tersenyum manis ke arahnya. Tiba-tiba, Ia berlutut di hadapanku seraya mengecup lembut punggung tanganku.
Tak lama, ia menyodorkan sebuah cincin belian yang tersimpan dalam sebuah kotak berbeludru merah. Aku menutup mulutku dengan tangan kiriku.
“Lila, will you marry me…?
Setetes air mataku meluncur bebas melalui pipiku. Namun kali ini aku menangis karena bahagia. Tanpa ragu kuanggukkan kepalaku. Ia tersenyum sangat manis. Dipasangkannya cincin itu ke jari manisku. Lalu, ia berdiri untuk memelukku sembari bergumam lirih, “Untuk kekasihku yang luar biasa, aku mencintaimu…”

Cinta sejati tak mengenal jarak, ruang, dan waktu. Pada saatnya ia pun akan berbicara dan membuktikannya ada….

-Selesai-

My Antologi :* (Order order!!)

Diposting oleh Unknown di 20:57

Antologi “Dinamika Cerita”!!
Hallo, sahabat!
Antologi keroyokan pertamaku turun cetak bulan ini. Senang sekali! :)

Dinamika Cerita
-Based on Rumput Liar"

Genre : Kumpulan Flash Fictions
Penulis : Boneka Lilin et Boliners

Editor : Boneka Lilin
Desig Cover : Ary Hansamu Harfeey
Foto : Boneka Lilin
Penerbit : Harfeey
ISBN : 978-602-7876-01-9
Tebal : 120 Hlm; 14,8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp34.000,- (Untuk seluruh penulis kontributor, diskon 20% setiap pembelian bukunya)

SINOPSIS

Dalam hidup, selalu ada hitam untuk mengiringi putih, ada kegelapan untuk meniadakan terang, ada senyum untuk penawar tangis, dan ada aku untuk melengkapi kamu menjadi kita. Inilah yang disebut dinamika cerita.

Ini salah satu cuplikan naskahnya nih!


Kyoto, September 2010
Awal musim gugur tahun lalu di bulan September. Aku mengingat betul –semua yang terjadi di musim itu. Semua bagaikan foto yang terpotret jelas dalam otakku, dan terpatri dalam hatiku. Luka ini membekas, kau tahu?
Daun-daun momiji berguguran dari tangkainya. Angin malam berhembus lirih. Suara daun-daun momiji yang saling bergesekan terdengar memilukan. Kuanggap itu sebagai tanda. Tanda bagaimana hancurnya hatiku saat itu. Musim gugur tahun lalu…
(Guguran Daun Momiji-Dian Agustin)




Penulis Kontributor :

Boneka Lilin, Andik Chefasa, Ratna Shun Yzc, Kiky Aurora, Nai Saras, Muhrodin A.M, Putri Rahayu, Dian Agustin, Elrifa Wiwid, Vita Ayu Kusuma De
wi, Nyi Penengah Dewanti, Yuditya Kenkyusha, Yulitha Rohman, Nenny Makmun, Ade Jamilah, Muhammad Zuhri Anshari, Cici Pratama, Khalida Yana, Intan Rizva, Tomy M. Saragih.

***

Buku ini bisa dipesan melalui para penulis kontributor, inbox FB Penerbit Harfeey, atau sms langsung ke nomor 081904162092. Terimakasih. :)

-Dian Agustin-


Covernya :)

One of My Antologi :* (Order yuk!)

Diposting oleh Unknown di 20:55

Melupakan #3
-Bermasalah dengan waktu-

Genre : Kumpulan cerpen remaja
Penulis : Bone Jhieka Lilin et Boliners
Editor : Boneka Lilin
Layout : Boneka Lilin
Design Cover : Ary Hansamu Harfeey
ISBN :
Tebal : 148 Hlm; 14,8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp38.000,- (Untuk kontributor, diskon 15% setiap pembelian bukunya)

Sinopsis

Dipaksa untuk melupakan seseorang yang sudah seperti bagian dari diri yang lain itu, ibarat memisahkan permen karet yang tersangkut pada rambut. Sulit untuk melepaskannya satu-satu, dan tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar. Namun untuk mempersingkatnya pun tidak terbilang mudah, karena sama sulitnya saat dihadapkan pada kenyataan bahwa rambut yang disayang harus dipangkas sebanyak yang terko
ntaminasi, agar bersih hingga sempurna dari partikel permen karet paling terkecil sekalipun.

Andai saja melupakanmu semudah mendung yang luruh menjadi hujan. Tapi Tuhan telah menakdirkan titik di antara kita, dan segalanya sudah cukup untuk menghentikan usahaku mengubah titik itu menjadi koma.

Melupakanmu hanya masalah waktu. Cepat atau lambat, aku yakin mampu jika mau.
***
Kontributor :
Boneka Lilin, Megandarisari, Baim, Ovi Sofwilwidad, Kiky Aurora, Yulitha Rohman, Alexandra Leonora, Miftahul Ayumi, Dian Eka Putri Mangedong, Christine Novia, Widhia Oktoeberza K.Z, Yuan Yunita, Khalidayana, Hikmah Mustadjuddin, Rina Kwartiana, Nur Laila Safitri, Fatimah, Clara Rosalina, Desmarini, Naelil, Asna April, Amalis Sofi'ah, Ferry Willi Riawan, Adelia Nur Afniansyah, Sucie Nella Ardilla, Dewi Larasati, Fransiska Sepdahlia, Aroma Ruri Permata, Martha Tresna Widyani, Rr. Felicia Dyah Larasati, Mohamad Misbah, Dian Agustin.
***
Kumpulan cerpen keren yang bisa bikin kamu bilang "WOW" ini bisa dipesan melalui para kontributor, inbox FB Penerbit Harfeey, atau langsung sms ke 081904162092. :)

Ini covernya:

Minggu, 16 Desember 2012

FF, "First Sight"

Diposting oleh Unknown di 00:33
http://www.facebook.com/notes/dian-agustin/flash-fiction-first-sight/405487789517437

“First Sight”
Oleh: Wingless Angel



                 Kau mengayuh sepedamu dengan kecepatan penuh. Tanpa mempedulikan peluh yang mulai meleleh di pelipismu. Kau tetap mengayuh dan mengayuh. Waktu enggan mengizinkanmu untuk berhenti. Begitu kejam, bukan?
                Sekali lagi, ekor matamu melirik benda berwarna merah pucat di pergelangan tanganmu, jarum jamnya bertengger tepat di angka tujuh. Kau semakin panic. Roda sepedamu berputar semakin cepat menerabas jalanan yang basah. Kau merutuk dalam hati. Menyalahkan hujan yang tiba-tiba turun pagi tadi.
                Hingga tiba-tiba kau mengerem sepedamu seketika. Membuatmu sedikit terjungkal. Tapi lihatlah! Pemandangan itu sejenak membuatmu terpanah. Tanpa mempedulikan sang waktu yang terus menuntut seiring detak jantungmu. Kau seperti terhipnotis dengan mata bundar itu.
                Kembali kau mengingat kewajibanmu untuk pergi ke sekolah. Segera kau lajukan kembali sepedamu dan menunda keinginanmu untuk memiliki mata bundar itu.
***
                Masih sama… di dalam toko itu, kau kembali melihat sepasang mata bundar itu. Hatimu bersorak gembira. Nadimu berdenyut-denyut kala menatap mata itu. Rasa lega mulai menyelubungi kalbumu. Kau tersenyum. Senyum yang sarat akan keinginan yang menggebu, bergejolak dalam dirimu.
                “Masih di sana…” lirihmu. Kau kembali menuntun sepedamu, menuntunnya pulang. Hatimu kembali berdebar-debar. Kau selalu ingin menatap mata bundar miliknya. Entahlah… kau merasa belum sanggup untuk memilikinya.

17:20
                Dengan mata berbinar, kau bergegas menuju toko di mana kau dapat menikmati mata bundar itu. Setibanya di depan toko, kau memberanikan diri untuk mendekati ‘si mata bundar’mu itu. Sekali lagi hatimu terguncang, perasaan kesal bercampur amarah meledak dalam jiwamu. Wajahmu memerah, tanganmu terkepal, matamu memancarkan kebencian.
                “Beraninya kau! Dia milikku...!!”
***
17:26
                Paku berkarat yang kau temukan di jalan, kini berpindah dalam genggaman tanganmu. Mata tajammu mengikuti arah jalan seseorang di depanmu. Dia bersama ‘si mata bundar’mu itu. Tanganmu semakin erat mencengkeram paku itu. Kau semakin memperlebar langkahmu, hingga kau benar-benar tepat di belakang tubuh orang itu. Tiba-tiba saja orang itu menoleh ke arahmu. Saat itu juga, kau arahkan paku di tanganmu ke arah mata orang itu.
                Orang itu mengerang panjang, kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh. ‘Si mata bundar’mu itu tersungkur hingga ke tepi rerumputan hijau yang mendominasi wilayah itu. Kau segera berlutut di hadapan orang itu yang masih mengerang kesakitan. Seulas senyum kejam membingkai bibir mungilmu. Kau arahkan paku itu ke wajahnya. Mengorek-ngorek permukaan kulit yang membungkus wajahnya yang penuh darah.
                ‘Si mata bundar’mu tetap diam dalam posisinya. Tak bergerak sama sekali. Kau tertawa puas menatap musuhmu, perebut ‘si mata bundar’mu itu, kini terkapar.
***
                ‘Si mata bundar’ itu kini telah menjadi milikmu. Kau begitu senang hingga tak henti-hentinya kau tatap mata bundar miliknya. Kau senang sekali melihatnya di atas ranjangmu. Begitu anggun di matamu.
                Kau berniat untuk membersihkan tubuh dan pakaianmu yang penuh noda darah. Sebelumnya, kau tersenyum ke arah ‘si mata bundar’ itu, lalu menutup pintu kamar mandi.
                Tubuhmu terasa hangat dalam belaian air hangat dalam bathtub. Sejenak kau pejamkan kedua matamu, meresapi setiap aroma yang ditimbulkan sabun mandimu. Hingga kau rasakan air dalam bathtub yang mendadak memanas, panas sekali, seperti air mendidih. Rasa sakit mulai meluruh di seluruh tubuhmu. Kau mencoba bangkit, namun tubuhmu terasa kaku, tidak dapat digerakkan sama sekali. Kau panic dan menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya, berharap seseorang mampu menolongmu. Namun, usahamu sia-sia. Tubuhmu mulai melepuh, suaramu melemah, tatapan matamu mulai sayu. Kau tidak bias berbuat apapun selain pasrah. Samar-samar, kau lihat ‘si mata bundar’mu itu tiba-tiba berada di sampingmu. Ya! Mata bundar itu, boneka itu….

-The End-
Haduh, udah ga usah heran. Ini emang aneh kok. Aku juga nyadar itu. :p
Semalem buatnya. Pas lagi mikirin si anabelle (boneka serem itu loh!). Jadilah, naskah ini….
Kasih komentar yang panjang yah! Walau naskah ini emang ga panjang…
Okeh? Jangan kapok bacanya yah!!
Dian pamit! Semlikum!!

-Wingless Angel-


Ga serem yah? xD

Sabtu, 15 Desember 2012

Cerpen, "Antara Aku dan Hujan"

Diposting oleh Unknown di 23:46


“Antara Aku dan Hujan”
Oleh: Dian Agustin

Untaian kata tak mampu ungkapkan apa yang kurasa
Izinkan aku terlelap di bawah alam sadarku
Meninggalkan hari yang terasa sama bagiku
Menyakitkan…
           
            Aku membiarkan tetesan-tetesan air hujan membelai lembut tubuhku. Aku tidak peduli. Aku tetap memandang wajahnya yang juga menatapku dari samping. Aku tersenyum lembut ke arahnya.
            “Kau … bibirmu pucat,” ujarnya lirih namun masih bisa kudengar. Kulihat raut wajahnya yang mengkhawatirkanku.
            “Tidak apa… Aku senang melihatmu –lagi.”
            “Mengapa kau masih di sini? Maksudku … ini bukan gerimis, kau tahu?” Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa ia mengusirku?
            “Aku hanya akan pergi saat aku ingin pergi. Dan perlu kauketahui, saat ini aku tidak ingin melakukannya!” cecarku. Aku mengerucutkan bibirku sebal. Rasa kesalku semakin bertambah saat melihatnya menahan tawa. Ini tidak lucu!
            “Kau tidak senang aku di sini?” lirihku. Aku menunduk sembari meremas jemariku yang telah memutih.
            “Aku tidak berkata seperti itu,” Aku mengeangkat wajahku menghadapnya. Ia mengangkat tangannya, lalu menyentuh kepalaku sambil tersenyum. Sejenak, atmosfer taman ini memanas walaupun hujan masih mengguyur tubuh kami. Dan baru kusadari,  aku menahan napas!
            “Baiklah, ayo kita pergi dari sini. Aku tidak setega itu membiarkanmu kedinginan seperti itu.” Ia berkata setelah ia menjauhkan tangannya dari kepalaku. Aku bernapas lega. Napasku normal kembali, dan aku lega karena itu.
            “Ayo, Rein!” Ia mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu meniupnya. Aku terlonjak dan reflex mengangkat bahu –menghindari tiupannya. Apa yang baru saja ia lakukan? Ia meniup tengkukku?
            “Mm.” Aku memaksa tuubuhku untuk berdiri, lalu berjalan di belakangnya.
***
            Hujan masih mengguyur Kansai ketika kami memutuskan untuk menyesap hot mochaccino di sebuah café. Mataku memandang setiap sudut café yang rupanya hanya ada kami –Aku dan Kakeru- serta dua orang wanita yang bisa dibilang masih muda. Aku menganggap itu hal biasa. Mana mungkin orang lain rela keluar dari rumahnya saat hujan lebat seperti ini? Ada-ada saja.
            Mataku kembali menyapu sudut-sudut café ini. Baru kusadari ternyata café ini sangatlah membosankan. Semua perabot café terbuat dari kayu dengan ukiran yang begitu rumit. Ya… aku memang tidak suka seni! Dinding dalam café sangat cantik dengan guguran daun-daun momiji. Ah! Ada lagi yang kusuka, bagian depan café dibatasi oleh kaca tebal, sehingga aku masih dapat menyaksikan hujan turun dari sini.
            “Apa yang mengganggu pikiranmu?” Aku menatapnya dalam. Semenjak kami meninggalkan taman tadi, ia terlihat murung. Seperti ada yang sedang mengganggu pikirannya. Tapi aku tak tahu apa itu. Kukira, ia akan membuka mulutnya kembali saat di dalam café, namun aku salah. Ia tetap bergeming.
            Ia menghembuskan napas. “Tidak ada.”
            Aku mengerutkan kening tidak percaya. Ia sepertinya tahu jika aku ingin penjelasan lebih, sehingga ia melanjutkan kalimatnya.
            “Mengapa harus seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Aku ingin tetap tinggal, namun… Ah! Sudahlah!” Ia menggumam tidak jelas. Bukan! Maksudku, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
            “Apa maksudmu?”
            Ia kembali menghembuskan napas. Kali ini terasa lebih berat.
            “Lupakan saja. Aku hanya lelah. Ayo, segera habiskan mochaccino-mu, agar kita bisa segera pulang!” Ia mengusap-usap pipiku yang langsung bersemu merah. Astaga! Apa yang akan terjadi padaku jika ia melakukan hal seperti itu lagi? Pingsan? Tidak. Itu terlalu berlebihan.
            “Mm… baiklah,” gumamku serak. Kuraih cangkir berisi hot mochaccino yang kubiarkan mendingin, lalu menyesapnya hingga tersisa separuh.
            “Ayo, kita pulang!” ujarku riang sambil meletakkan cangkir itu kembali.
            “Tapi, lihatlah! Huajn masih lebat. Tunggu! Jangan bilang kau akan tetap menerobos derasnya hujan ini?!” Aku tersenyum menyeringai.
            “Kau pintar! Kau dapat membaca pikiranku!! Ayo!” Aku bangkit dari kursiku, lalu berjalan mendahuluinya. Aku mendengarnya mendesah panjang, namun aku tidak peduli.
***

Ini masih sebuah cerita sedih
Menatapmu menjauh tanpa melihat ke arahku lagi
Mungkin aku akan menangis
Hingga saat ini…

            “Rein, aku akan pergi…” gumamnya. Sejenak, air hujan terasa seperti ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Apa maksudnya?
            “Pergi?”
            “Ya. Aku harus pergi,”
            “Kenapa tiba-tiba ingin pergi?”
            “Karena aku memang harus pergi.”
            Aku benar-benar tidak mengerti. Apa ia bercanda? Hujan, tolong katakana padanya, ini sama sekali tidak lucu!
            “Berapa lama?” tanyaku tanpa memandangnya. Ia tidak langsung menjawab. Dengan suara berat, akhirnya ia menjawab. “Mungkin, aku tidak akan bertemu denganmu lagi.”
            Aku berusaha mengendalikan napasku yang terputus-putus. Demi Tuhan! Aku tidak sanggup mendengarnya.
            “Rein.” Ia menorehkan senyumnya yang manis. Tapi, bagiku senyum itu sangatlah menyakitkan.
            “Terima kasih. Aku senang bias mengenalmu … dan memilikimu.”
            Kali ini ia berdiri di depanku, di hadapanku. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Tanganku menyambutnya dengan gemetar. Namun baru kusadari, hujan yang mengguyur tubuh kami tak mampu menghilangkan kehangatan telapak tangannya saat ia menggenggam tanganku. Hatiku tercabik untuk kesekian kalinya saat kehangatannya mengalir ke tubuhku, mengisi hati dan jiwaku. Inikah genggaman terakhir darinya?
            Ia menarik tanganku perlahan ke dalam pelukanya. Aku tidak menolak. Kubiarkan kedua tangannya memeluk erat tubuhku. Aku rela menukar apa saja demi menghentikan sang waktu. Sungguh!
            Pandanganku semakin mengabur saat tangan kanannya menyentuh kepalaku, mengusapnya lembut seolah menenangkanku. Air mataku jatuh, beradu dengan derasnya air hujan.
            “Aku mencintaimu.” gumamnya.
            “Aku juga.” Suaraku serak dan tercekat.
            “Berjanjilah, kau akan melupakanku,” katanya. Aku menggeleng. Saat itu juga aku dapat mendengar isakanku sendiri.
            “Kumohon … jangan pergi….” Pintaku dengan isakan tangis yang makin menyayat. Ia merenggangkan pelukannya untuk mencium keningku. Cukup lama.
            “Gadisku, kudoakan kau bahagia seumur hidupmu…” Ia tersenyum tipis lalu mulai membalikkan tubuhnya. Aku tetap diam hingga punggungnya hilang dari pandanganku.
            “Jangan pergi….” Tubuhku merosot jatuh ke tanah. Aku tidak dapat menahan isakanku lagi. Dadaku terasa semakin sakit saat aku mencoba menarik napas. Tubuhku berguncang keras. Saat itu juga aku menangis, benar-benar menangis tersedu-sedu.
***
Dan besok
Saat aku berjanji akan melupakanmu
Aku akan menghapusmu … juga bayanganmu….

            “Seorang pria ditemukan tewas setelah tertabrak sebuah mobil jeep, dini hari….”

-selesai-
U-uhh! Apa kabar kalian semua?!
Ada yang kangen aku, mungkin?
Wkwk ngarep -_-
Lama tak jumpa komenan kalian. Abis vacum siih!
Ayo ayo! Aku udah siap liat sambel kalian. Monggo dikomen =)
Follow kalo berkenan: @dianonlydian
Thenks ;>

-Dian Agustin-

Coretan Sederhana, "First Love"

Diposting oleh Unknown di 23:37
http://www.facebook.com/notes/dian-agustin/first-love/435064879893061


“First Love”

Gak ada maksud apa-apa, Cuma mau berbagi aja. Hehe. Asli nyata. Suer! ._.V


            Ini tentang sebuah rasa. Rasa yang bahkan tak kuketahui pasti kapan datangnya. Yang pasti, empat tahun lalu, di kelasku. Berawal dari sebuah drama, rasa itu mulai ada. Entahlah, semua terasa beda sejak aku mengenalnya. Aku mengenalnya ketika salah satu temanku mengajaknya bergabung di kelompok kami. Aku yang saat itu tidak seberapa mengenalnya, langsung setuju saja. Toh, kelompok kami juga kekurangan anggota.
            Semua berjalan seperti biasa. Kami sering latihan di rumahnya, tidak jauh dari rumahku. Entah sejak kapan kusadari, aku sangatlah senang bila ada jadwal latihan drama di rumahnya. Aku juga tidak tahu mengapa hatiku seakan selalu berdebar bila di dekatnya. Mungkin ini berlebihan, tapi beginilah adanya. Hingga akhirnya kusadari, bahwa aku menyukainya.
            Setahun kemudian, entah dari siapa, akhirnya ia tahu bahwa aku menyukainya. Ah, sejak saat itulah ia mulai mundur teratur, menjaga jarak, mungkin. Saat itu aku tidak bisa berbuat apapun. Mengelakpun aku tak bisa. Karena memang benar aku menyukainya.
            Saat itu, sekolahku mengadakan rekreasi ke kota Malang. Aku sangat senang, tentu saja, karena aku se-bus dengannya. Ah, walaupun jarak kursi kami berjauhan. Tidak apa, kurasa cukup. Tiba di sana, aku sering berpas-pasan dengannya. Kebetulan? Entahlah. Seperti saat aku dan sahabatku di Taman sesat, kami bertemu dengannya –yang saat itu bersama temannya-. Aku tidak menyapanya, hanya memandang hingga ia berlalu.
            Hingga sepulang rekreasi, aku merasa sangat sedih. Aku merasa ia akan pergi. Tentu saja meneruskan sekolahnya ke luar kota. Saat aku tertidur di bus, samar-samar kudengar sebuah lagu sedih bersenandung merdu, Firman-Kehilangan. Saat aku semakin memperjelas pendengaranku, kurasakan dadaku yang semakin sesak. Apa yang ada dalam lagu itu seperti ungkapanku terhadapnya. Heuh, bagiku, itu lagu kenangan. Lucu, ya?
            Kelulusan tiba, aku mencari-cari di mana ia berada. Tapi nihil, aku tidak menemukannya. Ya, aku hanya bertemu ibunya yang saat itu melihat danum anak tercintanya itu. Aku tak dapat merasakan apapun lagi selain sedih. Sedih karna aku tidak bisa bertemu dengannya lagi, sedih karena aku tak tahu bagaimana perasaannya untukku. Sedih karena aku terlanjur menyayanginya. Hahaha. Miris, aduh!


Once in a while

You are in my mind

I think about the days that we had
And i dream that these would all come back to me
If only you knew every moment in time
Nothing goes on in my heart
Just like your memories
How I want here to be with you
Once more

You will always gonna be the one

And you should know

How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Don’t say no
You will always gonna be the one in my life
So true, I believe i can never find
Somebody like you
My first love

Once in  a while

Your are in my dreams

I can feel the your warm embrace
And I pray that it will all come back to me
If only you knew every moment in time
Nothing goes on in my heart
Just like your memories
And how I want here to be with you
Once more

You will always be inside my heart

And you should know

How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Please don’t say no
Now and forever you are still the one
In my heart
So true, I believe I could never find
Somebody like you
My first love
(Utada Hikaru-First Love)

Aku tidak tahu sampai kapan akan terus seperti ini. Aku bukan menunggunya, hanya membiarkan perasaan ini mengalir apa adanya. Bukan berarti aku ingin melupakannya, tidak! Juga bukan karena aku enggan untuk selalu mengingatnya. Aku tak tahu. Aku menyayanginya karena ia adalah orangnya.
Kau akan selalu menjadi cintaku
Bahwa jika aku jatuh cinta dengan seseorang sekali lagi
Aku akan mengingatmu,
Bagaimana kau mengajariku ‘rasa itu’.
Karena kau akan selalu menjadi orangnya…

Ada banyak hal yang tak ingin kulupakan
Karena semuanya telah terselip rapi di sini, di dalam hati.
Kau akan selalu memiliki tempat tersendiri.
Apa aku juga begitu?
Ah, aku tidak berani berharap apapun. Sungguh!

Tapi percayalah,
Hingga saat ini, engkaulah dia…

            Untuknya, haha. Ini terlalu mellow, ya? Heum, aku ingin ungkapin satu kalimat lagi untuknya. Wkwk.
Hei, I miss you… :* (/’\)



ketiga dari kiri, dia. ketiga dari kanan, aku. :D


 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea