Aku pernah bermimpi berdiri di belakang
meja panjang—berisi deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, poci, dan bush kettle—dengan kedua tangan menari
bersama mesin. Memandangi serbuk hitam itu sembari menghirup aroma sedapnya
yang menempel di setiap dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang
peramu kopi, sebut saja barista.
K-o-p-i.
Sudah ribuan kali aku memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam beraroma
sedap itu—yang kerap kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku
kalap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat caffe latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, irish coffee,
macchiato, dan yang lainnya.
Membuka
kedai kopi sendiri, aku sudah memikirkannya sejak lama. Namun beberapa
pertimbangan kembali menyurutkan niatku. Salah satunya adalah karena restu
orang tua—yang satu ini aku tidak mendapatkannya. Kedua orang tuaku beranggapan
bahwa seorang wanita sangatlah tidak cocok menjadi barista. Aku benar-benar tidak setuju, memangnya apa masalahnya?
Tapi,
kembali lagi, restu orang tua adalah restu Sang Khalik.
Katakan
padaku, sekarang aku harus bagaimana?
***
Aku pernah bermimpi, sebelah tanganku
memegang cangkir berisi foam dan
tangan yang lainnya menggenggam lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan
kemampuan juga kelihaian tanganku, menciptakan latte art yang berbeda di setiap cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah,
Ibu, seorang barista juga mengenal
seni.
Tapi, Ayah, apabila aku
ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan langsung menjawab: “Aku
menyukai kopi tubruk.”
Dan apabila Ayah menanyaiku
‘mengapa?’ maka akan kujawab sambil tersenyum membayangkan aroma kopi tubruk yang
menimbulkan candu untukku: “Sederhana, lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
Aku pernah membayangkan bagaimana
Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat makan siang tiba. Kemudian Ayah
akan memintaku untuk meramukan secangkir cappuccino
dengan dark rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya,
bukan?
Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing
berisi cappuccino dan kopi tubruk,
kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan tentang hal-hal yang akan
menghangatkan suasana sampai sore tiba.
Tahukah Ayah, bahwa ketika kita
saling bercerita kita akan semakin dekat? Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga
bisa membuat hubungan kita menjadi lebih dekat.
Bukankah itu bagus, Ayah?
***
Aku pernah
bermimpi, ketika Ibu berkumpul bersama teman lama lalu membicarakan tentang
anaknya masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji anaknya, Ibu akan
tersenyum karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum dibalik mesin kopi dan
dengan kedua tangan membuat buih yang mengapung di atasnya.
Lalu aku
akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah siap! Oh, ya, aku membuat bentuk
baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian
teman-teman Ibu akan bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan mantap,
Ibu akan menjawab, “Dia berbeda dengan caranya—bayangkan, dia adalah seorang barista. Dia mahir meracik kopi, dan aku
amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu,
berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi berbeda dengan caraku, Ibu. Menjadi
seorang barista juga bukan hal yang
tabu, justru dengan itu aku bisa menjadi istimewa—karena aku berbeda.
Benar, kan,
Bu?
***
Hari itu,
aku bermimpi bertemu dengan seorang barista
andal bernama Aiden. Dia yang menemukan terobosan baru, menjadikan salah
satu kedai kopi di kotaku sebagai magnet baru. Aiden membuatku penasaran, dia
benar-benar seperti magnet.
Malam
berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai kopi miliknya. Aku ingin
berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi—tentu saja. Sudah kuduga, aku
akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden sangat sibuk sepanjang
hari.
Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh
malam. Itu kali pertamanya aku minum kopi panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
***
Saat aku
datang, kafe sudah sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk di kursi
masing-masing. Salah seorang di antaranya tampak sedang mengobrol dengan Aiden.
Yang kulihat di sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku bersyukur tentang satu
hal itu.
Mendengar pertanyaan pelanggan itu,
aku tersenyum. Pelanggan itu bertanya, “Apa ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja, penampilannya. Meski
penampilannya cukup mirip dengan caffe
latte, untuk cappuccino memang dibutuhkan
standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena seorang penikmat cappuccino sejati, akan memerhatikan
penampilannya. Apabila tidak terkonsep, bisa memengaruhi suasana hati
penikmatnya. Itu opiniku.
Beberapa menit berikutnya, aku sudah
duduk dengan kopi panas yang masih mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku
mengedarkan pandangan, lantai dan dinding kafe tersebut terbuat dari kayu
merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding kafe ditempeli poster-poster
kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat besar yang menempel di dekat
meja panjang barista, yang berisi
tulisan model lama menggunakan Bahasa Belanda:
Adn
Koffie
Keningku
berkerut samar. Adn?
“Adn. Nama salah satu surga. Selamat
datang di surgaku!” Seorang laki-laki berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu
tersenyum ke arah Aiden. Alunan musik klasik yang menenangkan, dengan kombinasi
aroma berbagai macam kopi yang memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi
para penggila kopi, sepertiku.
Aku lalu bercerita kepadanya,
tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden mendengarkanku dengan seksama,
sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Kemudian aku
sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika aku mulai megap-megap, seperti
ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku belum pernah se-antusias ini
saat bercerita.
“Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar
ingin menjadi seorang barista, Aiden.
Ya, sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara, tenggorokanku seperti
terlilit sekarang.
Perhatianku teralih pada kopi panas
di depanku. Kupejamkan mataku, membiarkan indra perasaku mengambil alih hal
ini. Cuping hidungku mengembang, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang
mengepul dari cangkirnya. Merasakan aroma khasnya mengontaminasi udara di
sekitar hidungku. Ini espresso, aku
hafal aromanya.
Aku kembali membuka mata ketika
suara Aiden sampai di telingaku. “Kamu bisa menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki. Keningku berlipat, tidak
mengerti.
“Ikut aku.” Setelah mengatakan itu,
Aiden berjalan meninggalkan kursinya menuju meja panjang di dekat plat besar.
Tempat itu nyaris membuatku melompat saking gembiranya. Bayangkan, tempat
keramat itu—Meja barista!
***
Aku
memerhatikannya, kedua tangan Aiden yang menari bersama mesin, deretan kaleng
besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Di tangan kirinya, tergenggam
cangkir putih yang sepertiga dari isinya berisi kopi. Aku yakin sekali, Aiden
akan membuat latte art, proses yang
paling kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan cangkir itu
kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat sebelah
alisnya.
“Hari ini,
aku menantangmu untuk membuat latte art,”
katanya.
Mataku
berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru telah disuntikkan ke dalam darahku.
Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku akan membuktikan pada Aiden, aku
juga layak menjadi seorang barista.
***
Otakku
kembali memutar kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden menonton aksiku
membuat latte art. Awalnya aku
kebingungan, berhadapan langsung dengan kopi dan foam membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu hanyalah,
bagaimana aku bisa memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
Saat ini, di hadapanku terdapat
karya latte art perdanaku. Latte art yang sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku ingin memuseumkan
kopi itu sekarang juga.
Aku masih mengingat betul kata-kata
Aiden yang rasanya patut untuk kugarisbawahi. Secara tidak langsung, Aiden
telah memberiku semangat saat mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu sedang bernyanyi, maka kamu telah menjadi
seorang penyanyi. Dan ketika kamu sedang meramu kopi dan membuat latte art di atasnya, kamu telah menjadi seorang barista.”
Kejadian ini seperti menarikku
kembali ke realita. Membuatku sadar bahwa ini bukanlah ruang maya, karena semua
ini nyata. Aku sedang tidak bermain imajinasi ketika aku berkenalan dengan
Aiden, meramu kopi bersamanya, dan membuat latte
art saat larut malam—semua ini nyata.
Dia Aiden, orang yang baru saja
mengenalku dan percaya dengan mimpiku, mendukungku untuk terus meraih mimpi
itu. Menjadi seorang barista, ini
yang kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu, Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa
menjadi seorang barista sekalipun aku
wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah, Ibu? Bukankah Aiden hebat?
Gresik, 15
Oktober 2013—10:29
—Selesai—