Seoul, 16 July 2009
Langit Kota
Seoul tampak muram ketika seorang yeoja[1] berambut cokelat duduk terdiam di
salah satu kursi café. Pandangan yeoja bermata hazel itu terkesan kosong menatap secangkir cokelat panas di
depannya. Ia menatap cokelat panas itu lama, namun tak beniat untuk meminumnya.
Pikirannya
diselimuti kenangan masa lalu yang baginya terasa pahit. Dua tahun lalu, tepat
di hari dan tempat yang sama, ia bertemu seorang namja[2] berbelahan dagu
sempurna, namanya Lee Soo Yeon. Mata namja itu berwarna cokelat kayu dengan
bibir tipis yang begitu memesona. Namun sayang, namja itu terlanjur melukis
luka dalam di hati yeoja bernama Kim Na Mi itu. Hingga Na Mi benar-benar jera
untuk jatuh cinta lagi. Memang apa salah yeoja polos itu?
Ji Won’s Nest Café
Telunjuk mungil seorang yeoja tampak
menggores lembut permukaan kaca yang berembun. Titik-titik air hujan yang
menempel di bagian luar kaca tampak leleh perlahan, lalu bersatu dengan titik
air di bawahnya, membuat titik-titik air tersebut jatuh bersamaan. Sudut bibir
yeoja itu terangkat membentuk sebuah senyuman ketika telunjuknya berhasil
membentuk gambar hati. Di sisi kanan gambar hati tersebut tertulis nama sang
yeoja itu sendiri. Sedang di sisi kiri gambar hati … tidak ditulis apapun. Na
Mi hanya membuat tiga buah titik di sana.
Yeoja itu tersentak saat sebuah tangan menyentuh bahunya,
membuatnya refleks menoleh ke arah seseorang yang telah berani mengusiknya. Na
Mi melongo saat mendapati seorang namja tampan berdiri di hadapannya. Tangan
kiri namja itu menggenggam lengan sebuah cangkir yang Na Mi tebak isinya kopi.
Lamunan Na Mi buyar ketika namja itu melambai-lambaikan
tangannya di dekat wajah Na Mi. Ia merasakan pipinya memanas karena ia ketahuan
terpesona akan ketampanan namja di depannya.
“Mm, bolehkah aku duduk di sini, Nona? Semua kursi telah
penuh, kecuali kursimu ini. Jadi, bagaimana?” kata namja tampan itu sesaat
setelah ia memasukkan salah satu tangannya yang bebas ke saku celananya. Na Mi
segera menyebarkan pandangannya ke seluruh sudut café. Benar saja, hanya
kursinya yang kosong. Na Mi membuang nafas pendek lalu mengangguk ke arah namja
itu. Senyum tersungging di bibir tipis sang namja.
“Terima kasih… Mm, Kim Na Mi,” ujar namja itu setelah
melihat name tag di serangam yang
dikenakan Na Mi. Na Mi sedikit kaget namun ia langsung mengulas senyum
manisnya. Ia sungguh baru menyadari bahwa namja yang duduk di hadapannya itu
juga memakai seragam seperti yang ia kenakan. Itu artinya … mereka sesekolah!
“Namaku Lee Soo Yeon.”
***
Bibir Na Mi
menunjukkan sesungging senyum miris. Hatinya masih saja berdebar kala mengingat
wajah namja yang telah tega menggores sayatan-sayatan tepat di hati sucinya
yang bahkan belum pernah dijamah seorang namja pun. Sebutir airmatanya jatuh
meluncur cepat di pipi kemerahannya. Nafasnya menderu pelan, melawan sakit
batinnya yang belum kunjung pulih.
Hingga suara
seorang pelayang café membuat tangannya refleks mengusap kasar airmata yang
merebak di permukaan kulit pipinya.
“Apa Anda
ingin memesan sesuatu, Nona?” Tanya pelayan bermata sipit kepada Na Mi. Na Mi
menggeleng pelan. “Mm, tidak, terima kasih.”
Pelayan itu
mengangguk lalu mulai meninggalkan meja Na Mi. Yeoja itu mengulurkan tangannya
meraih cangkir di depannya yang telah mendingin, lalu menyesapnya perlahan.
Na Mi
semakin gencar mendekati namja tampan bernama Lee Soo Yeon itu. Na Mi memang
begitu menyukainya. Jika tidak, tidak mungkin yeoja satu itu berdiri di lapangan
basket sekolah demi untuk melihat namja idamannya bermain basket. Oh, astaga!
Sekolah sudah sepi, karena jam pulang sekolah sudah lewat
sekitar setengah jam lalu. Namun, Na Mi lebih memilih menemani Lee Soo Yeon
bermain basket. Padahal langit telah menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan.
Yeoja itu seakan tidak peduli.
Na Mi mengulurkan sebotol mineral ke arah Soo Yeon yang
tubuhnya basah akan keringat. Na Mi begitu senang memandangi namja yang sudah
duduk di bangku putih panjang, –di samping Na Mi– karena ia terlihat sangat
seksi dengan tubuh mengkilat karena keringat.
Lee Soo Yeon menerima botol mineral itu lalu menengguknya
sampai habis. Wajah Na Mi seketika berubah melihat botol mineralnya yang tak
berisi lagi. Tragis. Padahal ia juga haus.
“Kau … menghabiskannya, huh!” teriak Na Mi sambil matanya
menatap botol malang dalam genggaman Soo Yeon.
Dengan wajah tanpa dosa, Soo Yeon malah bertanya,”Lalu?”
“Apa maksudmu ‘lalu’?” yeoja itu mulai geram.
“Bukankah air ini untukku? Mengapa kau juga menginginkannya?”
Yeoja itu sedikit menggembungkan pipinya, bibirnya
mengerucut lucu. Membuat namja di sampingnya mati-matian menahan tawa. Na Mi
semakin mengerucutkan bibirnya sebal.
Aih, namja gila!!
“Ini!” Na Mi menyodorkan sebuah handuk kecil dengan
perasaan sebal. Namja itu diam saja, tidak menerimanya.
“Tidak perlu. Aku membawanya juga,”
Na Mi semakin sebal saat Soo Yeon menolak handuknya.
Wajahnya memerah karena marah juga … malu. Ia lalu bangkit dan meraih tas
ranselnya. Kemudian berjalan cepat meninggalkan namja yang terus memanggil
namanya itu.
***
Terlalu sadis caramu….
Kapas
berarak berwarna keabuan itu kembali menumpahkan tangisnya ke muka bumi.
Seorang yeoja menyusuri koridor menuju kelas Soo Yeon dengan perasaan berdebar.
Manik matanya membulat saat terfokus pada dua sosok yang duduk berhadapan. Oh,
Tuhan! Itu Soo Yeon dan … Ki Mi, saudara kembar Na Mi. buru-buru Na Mi mundur
dan berdiri di dekat pintu.
“Bagaimana
menurutmu? Kudengar, dia menyukaimu,” Tanya Ki Mi dengan nada menggoda.
“Maksudmu
… Na Mi-ah?” kali ini suara khas Soo Yeon.
“Iya.
Bagaimana kalau Na Mi tahu, kau mendekatinya karenaku? Bagaimana kalau Na Mi
tahu … kau menyukaiku?”
Deg!
Ada perih di hati Na Mi, tangan kirinya terangkat menutup mulutnya seakan tidak
percaya kenyataan pahit di hadapannya. Tidak, ini hanya mimpi!
Lee
Soo Yeon berdiam cukup lama. Cukup lama untuk membuat si penguping dan
pendengar penasaran. Jantung Na Mi berdegup kencang, airmatanya telah mengumpul
di pelupuk matanya, belum ingin terjatuh….
Namja
itu tertawa kecil.
“Chagi[3], dengar, aku tidak pernah memberi tanda
padanya kalau aku menyukainya, karena aku memang tidak menyukainya. Mm … dia
gadis yang aneh dan keras kepala. Lalu, sekarang apa masalahnya? Aku hanya
menyukaimu, percayalah.”
Na Mi
tak sanggup lagi. Mungkin ini jawaban atas perasaannya. Sebuah penolakan. Ya,
penolakan yang pada akhirnya memaksanya menguapkan rasanya terhadap namja yang
kini dibencinya. Namja yang dengan sengaja memahat luka dalam di hati Na Mi.
Dengan
langkah terseok, ia memegangi dinding sebagai penopangnya. Bulir-bulir kristal
yang mengaburkan pandangannya, perlahan mulai merebak di pipi kemerahannya.
Yeoja
itu melangkah lunglai menuju bangku putih tempatnya biasanya duduk bersama Soo
Yeon, memandangi namja itu yang tengah bermain basket saat mendung seperti ini.
Airmata
di pipinya telah mengering, namun tampak meninggalkan bekas di kedua pipinya.
Yeoja manis itu menghirup nafas panjang. Mencoba menghilangkan rasa sesak
hatinya yang masih terasa perih.
Matanya
memandang sekeliling. Sepi. Langit sudah berhenti menangis, namun menyisakan
titik-titik air di pucuk dedaunan. Udara semakin dingin ketika yeoja itu
melirik arloji kuning yang melingkar indah di pergelangan tangan kirinya. Pukul
lima sore, rasanya masih sulit untuknya pulang ke rumah dan bertemu saudara
kembarnya. Entah, yeoja itu tidak tahu sampai kapan ia akan tetap duduk di
sini.
“Hey!
Apa yang kau lakukan di sini? Ki Mi mencarimu, kau tahu?!” Na Mi tidak menoleh
karena ia hafal betul suara namja di belakangnya itu.
Hanya karena Ki Mi … hanya karena Ki Mi Soo
Yeon mencariku ….
“Kau
tidak mendengarku, ne[4]?” bentak Soo Yeon.
“Pergilah,”
kata Na Mi namun terdengar seperti berbisik. Entah mengapa, tenaganya seakan
terkuras habis. Bahkan untuk berteriak saja, ia tidak bisa. Otaknya lagi-lagi
memaksanya untuk menurunkan tetesan air mata dari mata sembabnya.
“Kau
menangis?” lirih namja yang kini telah berdiri di hadapan yeoja yang lebih
memilih membuang muka daripada harus meraung-raung karena wajah namja yang
begitu disukainya itu.
Na Mi
lalu berdiri dan menatap mata namja di depannya.
“KENAPA?!”
teriak yeoja itu meluapkan gejolak perih di jiwanya.
“Kenapa
kau bersikap sok baik padaku? Aku benci! Benci pada diriku sendiri yang tak
pernah berarti untukmu! Dan apapun yang kulakukan untuk menarik perhatianmu,
aku tidak pernah ada di matamu, di pikiranmu, bahkan di hatimu, bukan? Kenapa?
Kenapa harus dia? KENAPA HARUS KI MI?!”
Meledak.
Segala bertanyaan yang terus memutari pikiran Na Mi telah diungkapkannya. Ia
menarik nafas panjang ketika jantungnya berdebar-debar karena amarah yang
sedari tadi dipendamnya. Airmatanya meleleh kian banyak di pipinya. Ia benar-benar
tak bisa mengendalikan hatinya saat ini. Ia bingung. Ia lelah. Yeoja itu lelah
dipermainkan.
“Kau …
mendengarnya?” Soo Yeon menatap Na Mi tidak percaya.
“Dengar,
mulai sekarang, hidupmu akan tenang tanpa diriku! Gadis aneh dan keras kepala,
begitu katamu? Aku menyesal bertemu denganmu, aku menyesal mengenalmu, dan aku
menyesal telah menyukaimu, Soo Yeon!!”
Setelah
mengucapkan serentetan kata itu, Na Mi berlari menjauhi namja yang kini tengah
meremas rambutnya sendiri
***
Aku bukan menghapusmu
… karena memang tidak akan bisa!
Aku hanya menghapus
peranmu di hatiku ….
Yeoja itu meletakkan cangkirnya kembali ke
meja di depannya. Sesaat kemudian, ia meraih tas tangannya lalu bengkit keluar
café. Namun naas, hujan kembali mengguyur jalanan Seoul kali ini. Membuat yeoja
itu merutuki hujan yang tiba-tiba menunaikan tugasnya mengguyur bumi. Ia juga
merutuki dirinya yang tidak membawa payung hari itu, padahal biasanya ia tidak
pernah absen membawa payung.
“Ck, sial!” Na Mi mengumpat pelan.
Tiba-tiba, sebuah payung terkembang di
atasnya. Membuatnya mengangkat wajah untuk melihat siapa si empunya payung. Na
Mi tersentak, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, ujung-ujung jemarinya
tiba-tiba mendingin. Getar-getar di hatinya masih jelas terasa. Seperti dulu, saat
ia berhadapan dengan namja itu.
“Hai,” sapa namja itu ramah.
Lee
Soo Yeon ….
***
Ket:
[1] Gadis
[2] Pemuda
[3] Sayang
[4] Ya