“Aku tidak pernah mengerti bagaimana cinta
bisa sesakit ini.” Punggungmu bergetar menahan tangis. Kamu masih seperti 3
tahun yang lalu, belum matang. Aku menggeleng sambil terus memelukmu, seolah
dengan bahasa tubuh itu aku menyuruhmu menangis. Kamu menurut, menangis
dalam-dalam. Menangisi pria di luar sana yang telah melukaimu. Menyesali rasa
sayang yang pernah hadir di antara kalian. Tapi, penyesalan selalu datang
terlambat, kan?
“Kamu
salah. Benar-benar salah,” bisikku.
Perlahan,
pelukanmu mulai terurai. Mata berairmu menatapku meminta penjelasan. Aku lalu
tersenyum. “Orang yang kamu pilih-lah yang menyakitimu. Bukan cinta. Karena cinta
tidak pernah menyakiti.”
Manik beningmu berkedip beberapa kali. Seolah kesunyian
memberi tameng di sekitar kita. Aku mengerti arti tatapan itu. Aku salah, kamu
telah mengerti—kamu sudah matang.
***
Keningmu
berkerut samar saat aku membawa sebuah balon berwarna kuning. Aku tidak berani
menebak apa yang ada dalam pikiranmu saat ini. Tapi biarlah aku membantumu
mengatasi ini. Aku akan membebaskanmu.
“Balon?”
tanyamu dengan kerutan yang makin dalam.
Kutarik
tanganmu perlahan mendekatiku, membiarkanmu mengambil alih benda berisi udara
itu ke tanganmu. Kamu berkedip lagi. Aku tahu, kamu butuh penjelasan lebih dari
senyum.
“Kamu
tidak bermaksud menghiburku dengan ini, kan?” tanyamu polos. Aku tertawa pelan,
memecahkan ketegangan yang tanpa sengaja diciptakan. Aku cepat-cepat melambai,
bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?
Kuraih
wajahmu, memaksa mata hitam itu untuk menatapku. Kamu berkedip lagi. Aku sangat
menyukai bagaimana caramu memahami—dengan berkedip. “Aku ingin kamu lepaskan
balon ini,” kataku. Kamu mengangguk.
“Aku
ingin kamu melepas balon ini seperti kamu melepasnya.” Kamu membeku. Matamu terpaku.
“Kamu hanya perlu memejamkan mata rapat-rapat, lalu
lepaskan. Semua orang tahu ini berat, tapi percayalah ini yang terbaik."
Lanjutku lagi.
Manik itu terpejam selama beberapa
saat. Setitik air matamu jatuh, aku tersenyum menahan perih. Ini benar-benar
menyakitimu.
Segalanya melambat saat perlahan
balon itu terlepas dari tanganmu. Seolah himpitan dalam dadamu meledak saat itu
juga, kamu menangis. Melihatmu menangis, bolehkah aku mengaku? Selama
mengenalmu, aku belum pernah melihatmu menangis sedalam ini. Katakan padaku,
apakah ini benar-benar menyakitimu? Apa luka yang ia buat terlalu dalam?
Kamu jatuh terduduk, menangkup muka
dengan kedua tangan—menangis di dalamnya. Aku tidak mencoba mendekat,
habiskanlah dukamu. Dalam hati, aku berharap besok akan kutemui lagi senyum
yang biasa terulas dibibirmu. Senyum tulus tanpa luka. Bukan pura-pura. Karena kamu
telah melepasnya—melepas luka.
Gresik, 21 September 2013—8:10 PM