Kamis, 26 Desember 2013

Review 'Asmara di Atas Haram'

Diposting oleh Unknown di 15:50
Judul: Asmara di Atas Haram
Penulis: Zulkifli L. Muchdi
Jumlah Halaman: 460
Tahun Terbit: 2012
Penerbit: Erlangga

SINOPSIS

Yasser Al Banjary hanya hidup bersama ibu dan adiknya. Sepeninggal ayahnya, Yasser menjadi mandiri, kemandiriannya membawa ia memenangkan lomba baca Al-Qur’an Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Suatu saat ibunda Yasser sakit dan membutuhkan biaya untuk operasi, pada saat itu Yasser hanya memiliki uang sebesar 2 juta rupiah. Sedangkan biaya yang dibutuhkan sebesar 60 juta. Yasser yang berprofesi sebagai wartawan freelance Harian Umum Banjarmasin Post di kota ini, kaget bukan kepalang saat mengetahui di rekeningnya terdapat kucuran dana Rp. 5 miliar.

Dana yang tidak diketahui asal-usulnya itu tak membuat Yasser senang, tapi marah. Malah, dia berencana untuk klaim kepada manajemen bank yang dianggapnya bekerja tidak profesional. Menurutnya uang itu adalah dana haram hasil pencucian uang yang sengaja dikucurkan kepada nasabah dengan motif tertentu. Nyawa ibunya memang tidak tertolong, namun sejak kejadian itu Yasser dikenal sebagai ”lelaki berjilbab“, yakni seseorang yang melindungi kepala alias pikirannya dari tindakan jahat, seorang rakyat kecil yang menolak mati-matian uang yang nyasar ke rekeningnya!

Jalan hidup cinta Yasser diwarnai oleh beberapa wanita cantik yang hadir dalam kehidupannya seperti Istiqomah seorang qariah yang sejak lama menyukai Yasser, kemudian hadir Sofia anak orang kaya yang pernah menjadi murid dari Yasser, kemudian ada pula Eva dan Sofia yang turut mewarnai jalan cintanya. Lalu siapakah yang dipilih laki-laki berjilbab ini?

REVIEW 'ASMARA DI ATAS HARAM'

Awalnya, saya ragu bisa menyelesaikan novel setebal 460 halaman itu, sebenarnya bukan masalah banyaknya halaman, namun karena saya belum pernah membaca novel yang khusus membahas tentang detil-detil haji seperti novel ‘Asmara di Atas Haram’. Jujur, saya sangat bersimpatik dengan nama tokoh utama dalam novel ini, Yasser Al-Banjary. Yasser yang berarti wealth atau kekayaan.
Saya mengatakan novel ini cukup ‘berisi’. Mengapa? Karena banyak yang dapat kita petik sebagai pelajaran dari novel ini. Walaupun saya rasa, sedikit mustahil menemukan sosok Yasser Al-Banjary di kehidupan nyata kita. Sosok pemuda yang tampan—seperti yang digambarkan oleh Penulis—juga berakhlak mulia (bayangkan, pemuda mana yang akan menolak uang senilai Rp. 5 Miliar nyasar ke rekeningnya?).
Melalui novel ini, rasa-ingin-pergi-ke-Baitullah saya muncul semakin dalam. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana Penulis berhasil membuat Ka’bah tiba-tiba berada di kepala saya. Kisah cinta antara Yasser dan Isti yang sesuai syari’at islam juga menambah ‘manis’ novel ini.
Well, kembali lagi, di dunia ini memang tidak ada yang sempurna, seperti novel ini. Menurut saya, novel ini terlalu banyak membahas soal haji, hampir mendetil. Membuat saya beberapa kali melewati halaman-halaman yang berisi doa-doa yang saat haji yang tidak mungkin saya hafalkan waktu membacanya.
Tapi ada satu kutipan yang patut kita renungkan, saya benar-benar berhenti di halaman ini ketika membaca kutipan tersebut berbunyi:
“Apa kita tidak malu pada Rasulullah SAW yang telah mempertaruhkan nyawa demi tegaknya islam, sementara kita mengabaikan apa yang telah diperjuangkannya? Bukankah sholat itu tiang agama?”—Halaman 103

3,5/5 bintang untuk novel ini! =’))


Gresik, 26 Desember 2013
DianAgs

Sabtu, 21 Desember 2013

Inspired by. Filosofi Kopi (Dee)

Diposting oleh Unknown di 11:06

Aku pernah bermimpi berdiri di belakang meja panjang—berisi deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, poci, dan bush kettle—dengan kedua tangan menari bersama mesin. Memandangi serbuk hitam itu sembari menghirup aroma sedapnya yang menempel di setiap dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang peramu kopi, sebut saja barista.
            K-o-p-i. Sudah ribuan kali aku memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam beraroma sedap itu—yang kerap kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku kalap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat caffe latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, irish coffee, macchiato, dan yang lainnya.
            Membuka kedai kopi sendiri, aku sudah memikirkannya sejak lama. Namun beberapa pertimbangan kembali menyurutkan niatku. Salah satunya adalah karena restu orang tua—yang satu ini aku tidak mendapatkannya. Kedua orang tuaku beranggapan bahwa seorang wanita sangatlah tidak cocok menjadi barista. Aku benar-benar tidak setuju, memangnya apa masalahnya?
            Tapi, kembali lagi, restu orang tua adalah restu Sang Khalik.
            Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?
***
Aku pernah bermimpi, sebelah tanganku memegang cangkir berisi foam dan tangan yang lainnya menggenggam lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan kemampuan juga kelihaian tanganku, menciptakan latte art yang berbeda di setiap cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah, Ibu, seorang barista juga mengenal seni.
Tapi, Ayah, apabila aku ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan langsung menjawab: “Aku menyukai kopi tubruk.”
            Dan apabila Ayah menanyaiku ‘mengapa?’ maka akan kujawab sambil tersenyum membayangkan aroma kopi tubruk yang menimbulkan candu untukku: “Sederhana, lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
            Aku pernah membayangkan bagaimana Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat makan siang tiba. Kemudian Ayah akan memintaku untuk meramukan secangkir cappuccino dengan dark rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya, bukan?
            Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing berisi cappuccino dan kopi tubruk, kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan tentang hal-hal yang akan menghangatkan suasana sampai sore tiba.
            Tahukah Ayah, bahwa ketika kita saling bercerita kita akan semakin dekat? Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga bisa membuat hubungan kita menjadi lebih dekat.
            Bukankah itu bagus, Ayah?
***
Aku pernah bermimpi, ketika Ibu berkumpul bersama teman lama lalu membicarakan tentang anaknya masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji anaknya, Ibu akan tersenyum karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum dibalik mesin kopi dan dengan kedua tangan membuat buih yang mengapung di atasnya.
Lalu aku akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah siap! Oh, ya, aku membuat bentuk baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian teman-teman Ibu akan bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan mantap, Ibu akan menjawab, “Dia berbeda dengan caranya—bayangkan, dia adalah seorang barista. Dia mahir meracik kopi, dan aku amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu, berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi berbeda dengan caraku, Ibu. Menjadi seorang barista juga bukan hal yang tabu, justru dengan itu aku bisa menjadi istimewa—karena aku berbeda.
Benar, kan, Bu?
***
Hari itu, aku bermimpi bertemu dengan seorang barista andal bernama Aiden. Dia yang menemukan terobosan baru, menjadikan salah satu kedai kopi di kotaku sebagai magnet baru. Aiden membuatku penasaran, dia benar-benar seperti magnet.
Malam berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai kopi miliknya. Aku ingin berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi—tentu saja. Sudah kuduga, aku akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden sangat sibuk sepanjang hari.
            Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh malam. Itu kali pertamanya aku minum kopi panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
***
Saat aku datang, kafe sudah sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk di kursi masing-masing. Salah seorang di antaranya tampak sedang mengobrol dengan Aiden. Yang kulihat di sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku bersyukur tentang satu hal itu.
            Mendengar pertanyaan pelanggan itu, aku tersenyum. Pelanggan itu bertanya, “Apa ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja, penampilannya. Meski penampilannya cukup mirip dengan caffe latte, untuk cappuccino memang dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena seorang penikmat cappuccino sejati, akan memerhatikan penampilannya. Apabila tidak terkonsep, bisa memengaruhi suasana hati penikmatnya. Itu opiniku.
            Beberapa menit berikutnya, aku sudah duduk dengan kopi panas yang masih mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku mengedarkan pandangan, lantai dan dinding kafe tersebut terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding kafe ditempeli poster-poster kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat besar yang menempel di dekat meja panjang barista, yang berisi tulisan model lama menggunakan Bahasa Belanda:
Adn Koffie
Keningku berkerut samar. Adn?
            “Adn. Nama salah satu surga. Selamat datang di surgaku!” Seorang laki-laki berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu tersenyum ke arah Aiden. Alunan musik klasik yang menenangkan, dengan kombinasi aroma berbagai macam kopi yang memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi para penggila kopi, sepertiku.
            Aku lalu bercerita kepadanya, tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden mendengarkanku dengan seksama, sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Kemudian aku sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika aku mulai megap-megap, seperti ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku belum pernah se-antusias ini saat bercerita.
            “Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar ingin menjadi seorang barista, Aiden. Ya, sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara, tenggorokanku seperti terlilit sekarang.
            Perhatianku teralih pada kopi panas di depanku. Kupejamkan mataku, membiarkan indra perasaku mengambil alih hal ini. Cuping hidungku mengembang, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang mengepul dari cangkirnya. Merasakan aroma khasnya mengontaminasi udara di sekitar hidungku. Ini espresso, aku hafal aromanya.
            Aku kembali membuka mata ketika suara Aiden sampai di telingaku. “Kamu bisa menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki. Keningku berlipat, tidak mengerti.
            “Ikut aku.” Setelah mengatakan itu, Aiden berjalan meninggalkan kursinya menuju meja panjang di dekat plat besar. Tempat itu nyaris membuatku melompat saking gembiranya. Bayangkan, tempat keramat itu—Meja barista!
***
Aku memerhatikannya, kedua tangan Aiden yang menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
            Di tangan kirinya, tergenggam cangkir putih yang sepertiga dari isinya berisi kopi. Aku yakin sekali, Aiden akan membuat latte art, proses yang paling kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan cangkir itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Hari ini, aku menantangmu untuk membuat latte art,” katanya.
Mataku berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru telah disuntikkan ke dalam darahku. Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku akan membuktikan pada Aiden, aku juga layak menjadi seorang barista.
***
Otakku kembali memutar kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden menonton aksiku membuat latte art. Awalnya aku kebingungan, berhadapan langsung dengan kopi dan foam membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, bagaimana aku bisa memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
            Saat ini, di hadapanku terdapat karya latte art perdanaku. Latte art yang sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku ingin memuseumkan kopi itu sekarang juga.
            Aku masih mengingat betul kata-kata Aiden yang rasanya patut untuk kugarisbawahi. Secara tidak langsung, Aiden telah memberiku semangat saat mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu sedang bernyanyi, maka kamu telah menjadi seorang penyanyi. Dan ketika kamu sedang meramu kopi dan membuat latte art di atasnya, kamu telah menjadi seorang barista.”
            Kejadian ini seperti menarikku kembali ke realita. Membuatku sadar bahwa ini bukanlah ruang maya, karena semua ini nyata. Aku sedang tidak bermain imajinasi ketika aku berkenalan dengan Aiden, meramu kopi bersamanya, dan membuat latte art saat larut malam—semua ini nyata.
            Dia Aiden, orang yang baru saja mengenalku dan percaya dengan mimpiku, mendukungku untuk terus meraih mimpi itu. Menjadi seorang barista, ini yang kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu, Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang barista sekalipun aku wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah, Ibu? Bukankah Aiden hebat?

Gresik, 15 Oktober 2013—10:29

—Selesai—


I'm tired

Diposting oleh Unknown di 10:45

"Menyukaimu tidak pernah semudah yang kubayangkan."

Ada kalanya aku ingin berhenti, namun hati menolak. Seolah hati ini telah tunduk denganmu, membuatku sulit berpaling.
Kadang aku merasa bahagia bisa menyukai seseorang sepertimu, yang tidak hanya menawan rupa saja, tapi juga menawan akhlaknya.
Kadang juga aku merasa jengah, sampai kapan terus begini?
Ada saat di mana kita bisa begitu dekat, berbagi cerita masing-masing dan saling memahami.
Ada saat di mana kita terlalu jauh. Sadarkah kamu kalau kita justru terlihat aneh bila seperti ini? Sadarkah kamu kalau kita seperti tidak mengenal antar satu sama lain?
Aku selalu memerhatikanmu dari jauh, mengawasimu. 
Aku selalu ingin tahu tentangmu, aku tidak seperti ini sebelumnya.
Tahukah kamu, melihat dari jauh itu benar-benar tidak enak?
Aku ingin menyerah, aku lelah. 
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea