Minggu, 28 September 2014

Seperti Lilin

Diposting oleh Unknown di 21:34

Namaku sebelumnya tidak berarti apa-apa. Nama itu hanya penggalan nama kedua orang tuaku yang lalu dipadukan. Dian Agustin yang berarti Dian yang lahir di Bulan Agustus. Nama yang terdiri dari lima suku kata, sesuai dengan tanggal lahirku—entah kebetulan atau tidak.
            Namun setelah beberapa bulan belakangan, nama itu menjadi pelajaran berharga dalam hidup 16 tahun ini. Nama itu bermakna dan maknanya memberi pelajaran. Dian yang berarti pelita—atau biasa dikenal dengan kata lilin.
            Apa yang istimewa dari lilin?
            Sebenarnya makna apa yang begitu memberi pelajaran baru dalam hidup?
            Ia hanya setiupan api. Nyala yang kecil. Namun karena itulah aku ingin mewujudkan makna yang terkandung dalam sebuah nama. Lilin adalah nyala kecil di kegelapan, pemberi cahaya di kegelapan. Menjadi pelita.
            Aku ingin menjadi setitik cahaya bagi kegelapan orang-orang terdekatku. Menjadi angan dan perwujudan di atas hadirnya kegelapan. Terlebih, aku ingin menjadi pelita bagi Ayah, menjadi nyala kecil cahaya bagi Ibu.
            Aku yang pernah menjadi dambaan bagi orang tuaku, kedua mutiara hidup. Aku ‘membiarkan’ mereka mendambaku selama tujuh tahun pasca pernikahan mereka. Setelah tujuh tahun mendamba, aku hadir dalam bentuk dambaan yang menjadi kenyataan. Mungkin itulah kali pertamaku menjadi pelita bagi Ayah dan Ibu.  Aku dalam wujud dari pendambaan yang lama.
            Dan untuk sekali lagi, aku ingin menjadi pelita. Kali ini, aku ingin bukan hanya untuk mereka , namun untuk mereka yang lebih banyak lagi—teman-teman dan orang-orang tersayang. Aku ingin menjadi pelita, nyala kecil api di atas lilin. Menjadi pelita yang lahir di Bulan Agustus.

Gresik, 28 September, 2014
d'ags

Senin, 04 Agustus 2014

As may God grant you to be loved again

Diposting oleh Unknown di 21:49
Engkau kucintai; cinta, barangkali;
Belum begitu sirna di jiwaku;
Tetapi biarkanlah ia lebih banyak tidak mengusikmu;
Aku tak mau mendukakanmu sebintik pun
Engkau kucintai dengan diam-diam, dengan tanpa pengharapan,
Kadang dengan ketakutan, kadang dengan kelembutan
kita menyiksanya
Kucintai kau dengan tulus yang sangat,
dengan lembut yang sangat
Demikianlah Tuhan menganugrahimu
untuk dicintai oleh yang lain

Kucintai Kau
Alexander Sergeyevich Pushkin

I loved you, and I probably still do,
And for a while the feeling may remain,
But let my love no longer trouble you,
I do not wish to cause you any pain.
I loved you, and the hopelessness I knew,
The jealously, the shyness
tough in vain
Made up a love so tender and do true
As may God grant you to be loved again.

I Loved You
Alexander Sergeyevich Pushkin

Jumat, 23 Mei 2014

Obliviate

Diposting oleh Unknown di 22:01
Di antara kebingungan dan pandangan yang mengabur, aku melihat seseorang berlari ke arahku.

Aku tidak benar-benar yakin seseorang itu berlari ke arahku karena banyak orang berjalan di sekelilingku saat itu.
Tapi tidak, seseorang itu benar-benar berlari ke arahku.
Semakin dekat hingga yang bisa kurasakan saat itu adalah fantasi aneh yang masih tak kumengerti hingga saat ini. Aku hanya belum pernah merasakannya.
Saat itu, aku menyadari satu hal: selama ini aku hanya mengumpulkan pembelaan untuk menyangkal, tanpa berani mengakui bahwa aku masih menyukainya. Sangat.
Setelahnya aku tidak tahu apakah mantera ‘obliviate’ masih berlaku untuknya atau tidak. Ataukah memang sudah habis masanya?
Sebenarnya tidak masalah, aku memang tidak berniat untuk mengisi ulang atau memperpanjang masanya.
Kupikir dia memang anti-mantera.

Obliviate. 


Gresik, 23 Mei 201422:01

Kamis, 27 Februari 2014

(Bukan) Karena Denpasar Takdirku

Diposting oleh Unknown di 13:54
Aku pertama kali bertemu dengannya di hari pertama liburanku ke Bali. Ya, laki-laki yang menyelamatkan hatiku. Membuatku sembuh dari luka batin karena menjadi wanita yang tak terpilih—ah, kupikir gelar itu memang pantas untukku. Ini bukan karena aku pengecut—bukan karena aku ingin melarikan diri. Tapi, membuat batin terus menerus terluka juga tidak baik. Mungkin kata ‘menghindar’ lebih cocok untuk mengkondisikan situasiku saat ini. Walaupun aku sudah (mencoba) menerima semua ini, bukan berarti aku tidak merasakan apa-apa ketika melihat mereka bersama. Aku hanya butuh waktu.
            Kebetulan, dia adalah tour guide-ku selama di Pulau Bali. Sebenarnya, ini bukan kali pertamanya aku menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pura. Tapi entah bagaimana, kali ini aku berniat untuk menggunakan jasa tour guide. Aku memanggilnya Bli Putu. Seperti orang Bali pada umumnya: dia tampan dan manis. Pertama kali bertemu dengannya, langsung saja aku memberi nilai plus tujuh untuknya. Dia sangat ramah juga senang sekali tersenyum—aku bertanya-tanya, mengapa setiap kali melihatnya tersenyum, bibirku secara otomatis juga ikut melengkung? Penilaianku terhadapnya naik menjadi delapan setelah mengetahui dia juga mempunyai lesung pipit.
            Keadaan hatiku yang tidak begitu baik membuatku lebih banyak diam. Entah kebetulan atau bagaimana, justru Bli Putu lah yang seringkali berbicara—di luar tugasnya sebagai tour guide. Mungkin inilah yang membuatku cepat sekali akrab dengannya.
“Mengapa banyak wanita yang rela meneteskan air matanya untuk pria yang sebenarnya tak pantas ditangisi? Menurutmu bagaimana?” katanya saat itu sambil berkerut samar.
Aku justru terdiam sembari memandangi deburan ombak Pantai Kuta yang saling berkejaran. Semburat cahaya oranye berpendar-pendar dalam ingatanku. Seharusnya ini adalah momen terindah: ketika matahari mulai kembali ke peraduannya. Seharusnya aku bahagia karena berhasil menyaksikan matahari tenggelam di Pantai Kuta. Namun mengapa yang kurasakan hanyalah sesak? Kupejamkan kedua mataku sejenak saat hatiku kembali disesaki pilu. Aku kembali merasakan sebuah kenyataan yang lagi-lagi menamparku. Kenyataan bahwa aku adalah wanita yang tak terpilih.
Dengan seutas senyum getir yang terukir di bibir, kujawab pertanyaannya dengan sangat sederhana, “Karena mereka merasa tersakiti…,” Aku menatap udeng merah bermotif batik di atas kepalanya saat menjawab. Dia masih tidak mengerti dan memintaku untuk menjelaskan melalui gerakan matanya. “…menurutmu apa yang pertama kali mereka lakukan saat disakiti? Pergi ke kelab lalu minum cocktail?  Yang mereka percaya saat itu hanya satu: orang yang disayang telah tega melukai.”
Aku memejamkan mata lagi, mencegah air mata yang rasanya ingin jatuh. Saat itu, yang bisa kudengar hanyalah suara gemeretak hatiku yang hancur berkeping-keping. Segala kesedihan di dalam hati telah hancur menjadi debu.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir melihat perubahan air mukaku. Kuangkat wajahku untuk menatapnya.
“Aku ingin mengaku … aku bukan wanita munafik yang akan bilang aku baik-baik saja. Bli, katakan padaku, apa yang harus kulakukan?”
Aku tidak ingat, apakah saat itu aku memikirkan rasa malu atau tidak. Yang kuingat, hari itu aku menangis di pelukannya.
***
“Hari ini kita akan ke mana?” tanyaku sambil meneliti peta di tangan. Kuangkat mukaku karena aku tak mendengar jawaban Bli Putu. Ia tampak berpikir sambil menggosok-gosok dagunya yang licin. Seperti ada yang menggelitik ketika melihat ekspresi seriusnya itu.
            “Kau ingin ke Bedugul atau ke Tanah Lot?” gumamnya. Aku mengernyit, mengapa Bli Putu bertanya kembali kepadaku? “Maksudku, dua-duanya adalah objek yang sangat menarik. Aku ingin tahu, mana yang lebih kausukai?”
            Aku tersenyum tipis. “Kurasa, aku ingin ke Bedugul dulu.”

Karena Bedugul berada di ketinggian lebih dari seribu meter, setiap harinya objek wisata ini selalu diselimuti kabut. Selain itu, kawasan ini akan sejuk sepanjang hari.
            Keindahan alam yang tak ingin kulewatkan juga bisa dinikmati melalui jendela besar yang terbuat dari kaca sebuah kafetaria di dekat danau. Adalah yang sangat menyenangkan bila ditemani dengan minuman hangat.
            “Hari ini, biarkan aku meneraktirmu. Kau mau pesan apa?” tanyanya seperti pelayan saja. Aku mengangkat kedua alisku sambil berkata, “Terserah kau saja.”
            “Mm, begini saja, apa minuman kesukaanmu?”
            Aku mengangkat bahu, “Aku tidak tahu. Mm, aku minum apa saja.”
            “Bagaimana bisa tidak tahu? Lalu, minuman kesukaan ibumu, apa kau tahu?”
            “Tentu. Kopi hitam.”
            “Adik laki-lakimu?”
            “Mm, dia sering memesan americano. Sering sekali. Kurasa itu minuman kesukaannya,” kataku membuat ekspresi aneh di wajah Bli Putu. Aku mengernyit tidak mengerti. Memangnya aku salah bicara, ya?
            “Astaga! Lihatlah, kau bahkan tidak mengenal dirimu sendiri!”
            Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
            “Kau sangat paham dengan apa yang disukai orang-orang sekitarmu. Tapi, kau tidak paham dengan apa yang kausukai. Inilah yang kutakutkan: kau tidak mengenal dirimu sendiri.” Dia bangkit dari kursinya lalu berjalan meninggalkanku. Kurasa dia akan memesan minuman.
            Kualihkan kembali perhatianku memandangi keindahan danau dan pura besar yang diselubungi kabut lumayan tebal itu. Udara semakin dingin. Bukan tidak mungkin sore hari akan turun hujan.
            Telingaku menangkap suara ketukan sepatu Bli Putu dengan porselen yang mendekat, secara otomatis kualihkan pandanganku lagi kepadanya. Aku melempar pandangan tak mengerti saat Bli Putu telah duduk di kursinya. Dia membawa nampan dengan bermacam minuman kafein di atasnya. Suaraku tiba-tiba menghilang ketika tebakanku benar. Minuman-minuman itu untukku.
            Kutelan ludahku sebelum berbicara, “A… aku benar-benar tidak mengerti,”
            Dia menyeringai ke arahku. “Cobalah satu per satu! Sebentar lagi, kau akan mengetahui hal baru.” katanya meyakinkanku. Walaupun aku ragu, tapi tanpa berpikir lebih lama, kuturuti perintahnya.
            Kuulurkan tanganku meraih salah satu cangkir berisi kopi—aku tidak tahu apakah ini kopi susu atau bukan—lalu perlahan-lahan mulai menyesapnya. Mencoba merasakan rasanya yang berbeda dengan kopi hitam yang biasa kuminum. “Not bad,” ucapku sambil mengambil cangkir-cangkir lainnya.
            “Mana yang lebih kausukai?” dia sedari tadi mengamatiku sambil bersedekap. Aku menggigit bibir atasku sebelum menjawab, “Yang ini…,” aku menunjuk salah satu kopi yang masih tak kuketahui apa namanya dengan telunjukku. Yang pasti, rasanya enak sekali—menurutku.
            “Jadi…,” dia berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya, “…lain kali, jika ditanya ingin memesan apa, kau harus sudah bisa menjawab.”
            “Memangnya apa minuman kesukaanku?”

            “Cappuccino.”
To be continued ...

Selasa, 25 Februari 2014

Untuk Seseorang Yang Membuatku Merasakan

Diposting oleh Unknown di 23:16
Seseorang yang datang
Selalu memberi sebuah arti
Sebuah makna baru yang tidak kumengerti

Seseorang yang pergi
Selalu meninggalkan sebuah arti
Sebuah makna yang masih tidak kumengerti

Aku tahu,
Aku tidak perlu mengerti
Atau bahkan memahami
Karena seseorang itu
Tidak akan membiarkanku mengerti
Juga tidak akan membiarkanku memahami
Dia hanya membiarkanku
Merasakan ...
Bagaimana mencintai seorang anak Adam
Seperti dirinya ...

Surabaya, 20 Februari 2014—10:08
DianAgs

Minggu, 26 Januari 2014

Fate

Diposting oleh Unknown di 21:51

"Aku percaya bahwa jika kita bertemu sekali, kita sudah ditakdirkan untuk bertemu lagi."

Jumat, 10 Januari 2014

Seeing you from afar is enough

Diposting oleh Unknown di 23:28
“Aku tidak pernah menganggap ini takdir. Aku hanya menyukaimu, dan semuanya terjadi di luar kendaliku.”

Aku menyukai seseorang. Sebut dia istimewa. Tapi aku tidak akan mengejarnya. Bagiku, melihatnya dari jauh sudah cukup. Asal tak ada permasalahan di antara kita, aku tidak akan berbuat lebih jauh. Hanya, jika boleh aku meminta, kumohon jangan ada kata ‘saling menyakiti’ walaupun dari jauh.


Gresik, 10 Januari 2014—23:25 PM

I'm only an option, don't you?

Diposting oleh Unknown di 23:12
Pipinya memanas. Tapi ia tidak bisa merasakan perih bekas tamparan laki-laki itu di pipinya. Di dalam sini jauh lebih perih, di hatinya. Laki-laki itu benar-benar menamparnya di hadapan banyak orang tanpa mempedulikan bagaimana itu bisa saja melukai perasaannya.
            “Kita impas! Kau juga berkhianat!” cetus laki-laki bernama Sean itu. Laki-laki yang baru seminggu yang lalu putus hubungan dengannya.
            Gadis itu tidak membalas ucapan Sean, melainkan hanya menatap laki-laki itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis itu hanya berusaha menyembunyikan rasa kecewanya dengan raut marahnya. Itu hanya kedok. Ia benar-benar merasa hancur ketika dituduh seperti itu. Terlebih orang yang menuduhnya berkhianat adalah orang yang masih dijadikan harapan untuknya.
            “Awalnya aku ingin mengajakmu kembali lagi kepadaku, aku ingin mengaku salah. Tapi apa yang kulihat hari ini telah membuktikan bahwa selama ini aku benar. Kau memang tidak pantas untuk dipertahankan!”
            Setetes air matanya jatuh. Ucapan itu terlalu menyakitkan. Seolah-olah dalam keadaan seperti ini hanya ia saja yang bersalah. Ia masih tidak ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Sean karena memang tidak ada gunanya. Laki-laki itu telah banyak berubah, ia benar-benar telah kehilangan Sean-nya yang dulu. Namun ia cukup tahu diri, ia tidak ingin berharap Sean-nya kembali.
            “Sean, aku tidak tahu mengapa aku harus menjadikanmu satu-satunya saat aku hanya kaujadikan sebagai pilihan? Egois!” gadis itu terus meneguhkan hatinya, show must go on.
            “Tapi mengapa harus dia, Sella? Mengapa kau kembali pada musuhku?” Sean masih bertahan dengan tatapan sinisnya saat ia menunjuk ke arah laki-laki lain yang berdiri tak jauh dari mereka berdiri. Sella sempat melupakan keberadaan Abiel di dekatnya. Pandangan tak kalah sinis juga dihujamkan Abiel pada Sean. Laki-laki itu semakin gusar saat Sean mengucap kata ‘musuh’ sebagai kata ganti namanya.
            “Musuhmu bukan berarti musuhku!” Sella menyeka lagi air mata yang sudah jatuh sebelum melanjutkan perkataannya. “Mengapa kau bertanya begitu? Bukankah aku tidak pernah bertanya alasanmu berselingkuh dengan kakakku?”
            Sella sangat sadar bahwa perkataannya cukup menyentil Sean. Terbukti saat Sean tidak balas menyanggah perkataannya seperti biasanya. Mengingat sifat alami Sean yang tidak mau kalah dan disalahkan.

            “Sekali lagi, kau egois, Sean!” Setelahnya, Sella benar-benar meninggalkan Sean yang masih terdiam kaku.
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea