Kamis, 27 Februari 2014

(Bukan) Karena Denpasar Takdirku

Diposting oleh Unknown di 13:54
Aku pertama kali bertemu dengannya di hari pertama liburanku ke Bali. Ya, laki-laki yang menyelamatkan hatiku. Membuatku sembuh dari luka batin karena menjadi wanita yang tak terpilih—ah, kupikir gelar itu memang pantas untukku. Ini bukan karena aku pengecut—bukan karena aku ingin melarikan diri. Tapi, membuat batin terus menerus terluka juga tidak baik. Mungkin kata ‘menghindar’ lebih cocok untuk mengkondisikan situasiku saat ini. Walaupun aku sudah (mencoba) menerima semua ini, bukan berarti aku tidak merasakan apa-apa ketika melihat mereka bersama. Aku hanya butuh waktu.
            Kebetulan, dia adalah tour guide-ku selama di Pulau Bali. Sebenarnya, ini bukan kali pertamanya aku menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pura. Tapi entah bagaimana, kali ini aku berniat untuk menggunakan jasa tour guide. Aku memanggilnya Bli Putu. Seperti orang Bali pada umumnya: dia tampan dan manis. Pertama kali bertemu dengannya, langsung saja aku memberi nilai plus tujuh untuknya. Dia sangat ramah juga senang sekali tersenyum—aku bertanya-tanya, mengapa setiap kali melihatnya tersenyum, bibirku secara otomatis juga ikut melengkung? Penilaianku terhadapnya naik menjadi delapan setelah mengetahui dia juga mempunyai lesung pipit.
            Keadaan hatiku yang tidak begitu baik membuatku lebih banyak diam. Entah kebetulan atau bagaimana, justru Bli Putu lah yang seringkali berbicara—di luar tugasnya sebagai tour guide. Mungkin inilah yang membuatku cepat sekali akrab dengannya.
“Mengapa banyak wanita yang rela meneteskan air matanya untuk pria yang sebenarnya tak pantas ditangisi? Menurutmu bagaimana?” katanya saat itu sambil berkerut samar.
Aku justru terdiam sembari memandangi deburan ombak Pantai Kuta yang saling berkejaran. Semburat cahaya oranye berpendar-pendar dalam ingatanku. Seharusnya ini adalah momen terindah: ketika matahari mulai kembali ke peraduannya. Seharusnya aku bahagia karena berhasil menyaksikan matahari tenggelam di Pantai Kuta. Namun mengapa yang kurasakan hanyalah sesak? Kupejamkan kedua mataku sejenak saat hatiku kembali disesaki pilu. Aku kembali merasakan sebuah kenyataan yang lagi-lagi menamparku. Kenyataan bahwa aku adalah wanita yang tak terpilih.
Dengan seutas senyum getir yang terukir di bibir, kujawab pertanyaannya dengan sangat sederhana, “Karena mereka merasa tersakiti…,” Aku menatap udeng merah bermotif batik di atas kepalanya saat menjawab. Dia masih tidak mengerti dan memintaku untuk menjelaskan melalui gerakan matanya. “…menurutmu apa yang pertama kali mereka lakukan saat disakiti? Pergi ke kelab lalu minum cocktail?  Yang mereka percaya saat itu hanya satu: orang yang disayang telah tega melukai.”
Aku memejamkan mata lagi, mencegah air mata yang rasanya ingin jatuh. Saat itu, yang bisa kudengar hanyalah suara gemeretak hatiku yang hancur berkeping-keping. Segala kesedihan di dalam hati telah hancur menjadi debu.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir melihat perubahan air mukaku. Kuangkat wajahku untuk menatapnya.
“Aku ingin mengaku … aku bukan wanita munafik yang akan bilang aku baik-baik saja. Bli, katakan padaku, apa yang harus kulakukan?”
Aku tidak ingat, apakah saat itu aku memikirkan rasa malu atau tidak. Yang kuingat, hari itu aku menangis di pelukannya.
***
“Hari ini kita akan ke mana?” tanyaku sambil meneliti peta di tangan. Kuangkat mukaku karena aku tak mendengar jawaban Bli Putu. Ia tampak berpikir sambil menggosok-gosok dagunya yang licin. Seperti ada yang menggelitik ketika melihat ekspresi seriusnya itu.
            “Kau ingin ke Bedugul atau ke Tanah Lot?” gumamnya. Aku mengernyit, mengapa Bli Putu bertanya kembali kepadaku? “Maksudku, dua-duanya adalah objek yang sangat menarik. Aku ingin tahu, mana yang lebih kausukai?”
            Aku tersenyum tipis. “Kurasa, aku ingin ke Bedugul dulu.”

Karena Bedugul berada di ketinggian lebih dari seribu meter, setiap harinya objek wisata ini selalu diselimuti kabut. Selain itu, kawasan ini akan sejuk sepanjang hari.
            Keindahan alam yang tak ingin kulewatkan juga bisa dinikmati melalui jendela besar yang terbuat dari kaca sebuah kafetaria di dekat danau. Adalah yang sangat menyenangkan bila ditemani dengan minuman hangat.
            “Hari ini, biarkan aku meneraktirmu. Kau mau pesan apa?” tanyanya seperti pelayan saja. Aku mengangkat kedua alisku sambil berkata, “Terserah kau saja.”
            “Mm, begini saja, apa minuman kesukaanmu?”
            Aku mengangkat bahu, “Aku tidak tahu. Mm, aku minum apa saja.”
            “Bagaimana bisa tidak tahu? Lalu, minuman kesukaan ibumu, apa kau tahu?”
            “Tentu. Kopi hitam.”
            “Adik laki-lakimu?”
            “Mm, dia sering memesan americano. Sering sekali. Kurasa itu minuman kesukaannya,” kataku membuat ekspresi aneh di wajah Bli Putu. Aku mengernyit tidak mengerti. Memangnya aku salah bicara, ya?
            “Astaga! Lihatlah, kau bahkan tidak mengenal dirimu sendiri!”
            Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
            “Kau sangat paham dengan apa yang disukai orang-orang sekitarmu. Tapi, kau tidak paham dengan apa yang kausukai. Inilah yang kutakutkan: kau tidak mengenal dirimu sendiri.” Dia bangkit dari kursinya lalu berjalan meninggalkanku. Kurasa dia akan memesan minuman.
            Kualihkan kembali perhatianku memandangi keindahan danau dan pura besar yang diselubungi kabut lumayan tebal itu. Udara semakin dingin. Bukan tidak mungkin sore hari akan turun hujan.
            Telingaku menangkap suara ketukan sepatu Bli Putu dengan porselen yang mendekat, secara otomatis kualihkan pandanganku lagi kepadanya. Aku melempar pandangan tak mengerti saat Bli Putu telah duduk di kursinya. Dia membawa nampan dengan bermacam minuman kafein di atasnya. Suaraku tiba-tiba menghilang ketika tebakanku benar. Minuman-minuman itu untukku.
            Kutelan ludahku sebelum berbicara, “A… aku benar-benar tidak mengerti,”
            Dia menyeringai ke arahku. “Cobalah satu per satu! Sebentar lagi, kau akan mengetahui hal baru.” katanya meyakinkanku. Walaupun aku ragu, tapi tanpa berpikir lebih lama, kuturuti perintahnya.
            Kuulurkan tanganku meraih salah satu cangkir berisi kopi—aku tidak tahu apakah ini kopi susu atau bukan—lalu perlahan-lahan mulai menyesapnya. Mencoba merasakan rasanya yang berbeda dengan kopi hitam yang biasa kuminum. “Not bad,” ucapku sambil mengambil cangkir-cangkir lainnya.
            “Mana yang lebih kausukai?” dia sedari tadi mengamatiku sambil bersedekap. Aku menggigit bibir atasku sebelum menjawab, “Yang ini…,” aku menunjuk salah satu kopi yang masih tak kuketahui apa namanya dengan telunjukku. Yang pasti, rasanya enak sekali—menurutku.
            “Jadi…,” dia berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya, “…lain kali, jika ditanya ingin memesan apa, kau harus sudah bisa menjawab.”
            “Memangnya apa minuman kesukaanku?”

            “Cappuccino.”
To be continued ...

Selasa, 25 Februari 2014

Untuk Seseorang Yang Membuatku Merasakan

Diposting oleh Unknown di 23:16
Seseorang yang datang
Selalu memberi sebuah arti
Sebuah makna baru yang tidak kumengerti

Seseorang yang pergi
Selalu meninggalkan sebuah arti
Sebuah makna yang masih tidak kumengerti

Aku tahu,
Aku tidak perlu mengerti
Atau bahkan memahami
Karena seseorang itu
Tidak akan membiarkanku mengerti
Juga tidak akan membiarkanku memahami
Dia hanya membiarkanku
Merasakan ...
Bagaimana mencintai seorang anak Adam
Seperti dirinya ...

Surabaya, 20 Februari 2014—10:08
DianAgs

 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea