Kalian
tahu mengapa aku menyebutnya ‘Pria Musim Gugur’? Jawabannya sederhana saja:
karena aku pertama kali bertemu dengannya saat musim gugur. Saat itulah pertama
kali aku merasakan musim gugur di Manhattan.
Menjadi seorang pekerja sipil, menuntut
ayahku untuk selalu berpindah tempat tinggal. Aku tidak ingat ini kali keberapa
kami semua pindah rumah. Sebenarnya membosankan, karena tentu saja aku tidak
bisa berteman dengan orang lain lebih dari satu tahun—bahkan terkadang hanya
dalam hitungan bulan saja.
Maka dari itu, aku lebih memilih untuk
tidak berteman saja. Walaupun pengaruhnya bahkan tak pernah kuduga: aku tidak
bisa berbagi segala keluh-kesahku. Memendam semuanya sendiri itu tidak enak,
sungguh. Dadamu akan terasa penuh sesak yang membuatmu semakin mudah marah dan
tertekan.
Saat itu—aku ingat saat itu bulan
Oktober—aku hanya berjalan-jalan santai di dekat flat kami di Columbus Avenue. Sebenarnya
aku merasa asing dengan daerah itu, ingatanku yang buruk membuatku enggan untuk
menghafal jalan. Tapi sore itu berbeda. Entah apa yang menarikku untuk keluar
flat sekadar untuk menikmati indahnya langit musim gugur yang berwarna
kemerahan.
Berjalan sendiri memang sedikit
menakutkan, terlebih saat itu aku benar-benar tidak tahu jalan. Tapi dalam hati
dan langkahku bergitu yakin kalau aku pasti bisa kembali ke flat sebelum malam
tiba. Diiringi embusan angin, aku berjalan-jalan santai menyusuri jalanan
Columbus Avenue sembari sesekali bersenandung. Ah, aku tidak akan pernah
menyesali keputusanku keluar flat karena ini memang indah sekali! Wilayah
Avenue yang di kanan-kirinya ditumbuhi pohon maple yang berjajar rapi. Mungkin
selain saat musim semi, pohon-pohon maple itu akan semakin cantik saat musim
gugur.
Ingatkan aku untuk kembali besok sore.