Kamis, 26 Desember 2013

Review 'Asmara di Atas Haram'

Diposting oleh Unknown di 15:50
Judul: Asmara di Atas Haram
Penulis: Zulkifli L. Muchdi
Jumlah Halaman: 460
Tahun Terbit: 2012
Penerbit: Erlangga

SINOPSIS

Yasser Al Banjary hanya hidup bersama ibu dan adiknya. Sepeninggal ayahnya, Yasser menjadi mandiri, kemandiriannya membawa ia memenangkan lomba baca Al-Qur’an Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Suatu saat ibunda Yasser sakit dan membutuhkan biaya untuk operasi, pada saat itu Yasser hanya memiliki uang sebesar 2 juta rupiah. Sedangkan biaya yang dibutuhkan sebesar 60 juta. Yasser yang berprofesi sebagai wartawan freelance Harian Umum Banjarmasin Post di kota ini, kaget bukan kepalang saat mengetahui di rekeningnya terdapat kucuran dana Rp. 5 miliar.

Dana yang tidak diketahui asal-usulnya itu tak membuat Yasser senang, tapi marah. Malah, dia berencana untuk klaim kepada manajemen bank yang dianggapnya bekerja tidak profesional. Menurutnya uang itu adalah dana haram hasil pencucian uang yang sengaja dikucurkan kepada nasabah dengan motif tertentu. Nyawa ibunya memang tidak tertolong, namun sejak kejadian itu Yasser dikenal sebagai ”lelaki berjilbab“, yakni seseorang yang melindungi kepala alias pikirannya dari tindakan jahat, seorang rakyat kecil yang menolak mati-matian uang yang nyasar ke rekeningnya!

Jalan hidup cinta Yasser diwarnai oleh beberapa wanita cantik yang hadir dalam kehidupannya seperti Istiqomah seorang qariah yang sejak lama menyukai Yasser, kemudian hadir Sofia anak orang kaya yang pernah menjadi murid dari Yasser, kemudian ada pula Eva dan Sofia yang turut mewarnai jalan cintanya. Lalu siapakah yang dipilih laki-laki berjilbab ini?

REVIEW 'ASMARA DI ATAS HARAM'

Awalnya, saya ragu bisa menyelesaikan novel setebal 460 halaman itu, sebenarnya bukan masalah banyaknya halaman, namun karena saya belum pernah membaca novel yang khusus membahas tentang detil-detil haji seperti novel ‘Asmara di Atas Haram’. Jujur, saya sangat bersimpatik dengan nama tokoh utama dalam novel ini, Yasser Al-Banjary. Yasser yang berarti wealth atau kekayaan.
Saya mengatakan novel ini cukup ‘berisi’. Mengapa? Karena banyak yang dapat kita petik sebagai pelajaran dari novel ini. Walaupun saya rasa, sedikit mustahil menemukan sosok Yasser Al-Banjary di kehidupan nyata kita. Sosok pemuda yang tampan—seperti yang digambarkan oleh Penulis—juga berakhlak mulia (bayangkan, pemuda mana yang akan menolak uang senilai Rp. 5 Miliar nyasar ke rekeningnya?).
Melalui novel ini, rasa-ingin-pergi-ke-Baitullah saya muncul semakin dalam. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana Penulis berhasil membuat Ka’bah tiba-tiba berada di kepala saya. Kisah cinta antara Yasser dan Isti yang sesuai syari’at islam juga menambah ‘manis’ novel ini.
Well, kembali lagi, di dunia ini memang tidak ada yang sempurna, seperti novel ini. Menurut saya, novel ini terlalu banyak membahas soal haji, hampir mendetil. Membuat saya beberapa kali melewati halaman-halaman yang berisi doa-doa yang saat haji yang tidak mungkin saya hafalkan waktu membacanya.
Tapi ada satu kutipan yang patut kita renungkan, saya benar-benar berhenti di halaman ini ketika membaca kutipan tersebut berbunyi:
“Apa kita tidak malu pada Rasulullah SAW yang telah mempertaruhkan nyawa demi tegaknya islam, sementara kita mengabaikan apa yang telah diperjuangkannya? Bukankah sholat itu tiang agama?”—Halaman 103

3,5/5 bintang untuk novel ini! =’))


Gresik, 26 Desember 2013
DianAgs

Sabtu, 21 Desember 2013

Inspired by. Filosofi Kopi (Dee)

Diposting oleh Unknown di 11:06

Aku pernah bermimpi berdiri di belakang meja panjang—berisi deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, poci, dan bush kettle—dengan kedua tangan menari bersama mesin. Memandangi serbuk hitam itu sembari menghirup aroma sedapnya yang menempel di setiap dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang peramu kopi, sebut saja barista.
            K-o-p-i. Sudah ribuan kali aku memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam beraroma sedap itu—yang kerap kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku kalap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat caffe latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, irish coffee, macchiato, dan yang lainnya.
            Membuka kedai kopi sendiri, aku sudah memikirkannya sejak lama. Namun beberapa pertimbangan kembali menyurutkan niatku. Salah satunya adalah karena restu orang tua—yang satu ini aku tidak mendapatkannya. Kedua orang tuaku beranggapan bahwa seorang wanita sangatlah tidak cocok menjadi barista. Aku benar-benar tidak setuju, memangnya apa masalahnya?
            Tapi, kembali lagi, restu orang tua adalah restu Sang Khalik.
            Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?
***
Aku pernah bermimpi, sebelah tanganku memegang cangkir berisi foam dan tangan yang lainnya menggenggam lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan kemampuan juga kelihaian tanganku, menciptakan latte art yang berbeda di setiap cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah, Ibu, seorang barista juga mengenal seni.
Tapi, Ayah, apabila aku ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan langsung menjawab: “Aku menyukai kopi tubruk.”
            Dan apabila Ayah menanyaiku ‘mengapa?’ maka akan kujawab sambil tersenyum membayangkan aroma kopi tubruk yang menimbulkan candu untukku: “Sederhana, lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
            Aku pernah membayangkan bagaimana Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat makan siang tiba. Kemudian Ayah akan memintaku untuk meramukan secangkir cappuccino dengan dark rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya, bukan?
            Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing berisi cappuccino dan kopi tubruk, kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan tentang hal-hal yang akan menghangatkan suasana sampai sore tiba.
            Tahukah Ayah, bahwa ketika kita saling bercerita kita akan semakin dekat? Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga bisa membuat hubungan kita menjadi lebih dekat.
            Bukankah itu bagus, Ayah?
***
Aku pernah bermimpi, ketika Ibu berkumpul bersama teman lama lalu membicarakan tentang anaknya masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji anaknya, Ibu akan tersenyum karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum dibalik mesin kopi dan dengan kedua tangan membuat buih yang mengapung di atasnya.
Lalu aku akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah siap! Oh, ya, aku membuat bentuk baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian teman-teman Ibu akan bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan mantap, Ibu akan menjawab, “Dia berbeda dengan caranya—bayangkan, dia adalah seorang barista. Dia mahir meracik kopi, dan aku amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu, berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi berbeda dengan caraku, Ibu. Menjadi seorang barista juga bukan hal yang tabu, justru dengan itu aku bisa menjadi istimewa—karena aku berbeda.
Benar, kan, Bu?
***
Hari itu, aku bermimpi bertemu dengan seorang barista andal bernama Aiden. Dia yang menemukan terobosan baru, menjadikan salah satu kedai kopi di kotaku sebagai magnet baru. Aiden membuatku penasaran, dia benar-benar seperti magnet.
Malam berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai kopi miliknya. Aku ingin berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi—tentu saja. Sudah kuduga, aku akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden sangat sibuk sepanjang hari.
            Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh malam. Itu kali pertamanya aku minum kopi panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
***
Saat aku datang, kafe sudah sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk di kursi masing-masing. Salah seorang di antaranya tampak sedang mengobrol dengan Aiden. Yang kulihat di sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku bersyukur tentang satu hal itu.
            Mendengar pertanyaan pelanggan itu, aku tersenyum. Pelanggan itu bertanya, “Apa ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja, penampilannya. Meski penampilannya cukup mirip dengan caffe latte, untuk cappuccino memang dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena seorang penikmat cappuccino sejati, akan memerhatikan penampilannya. Apabila tidak terkonsep, bisa memengaruhi suasana hati penikmatnya. Itu opiniku.
            Beberapa menit berikutnya, aku sudah duduk dengan kopi panas yang masih mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku mengedarkan pandangan, lantai dan dinding kafe tersebut terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding kafe ditempeli poster-poster kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat besar yang menempel di dekat meja panjang barista, yang berisi tulisan model lama menggunakan Bahasa Belanda:
Adn Koffie
Keningku berkerut samar. Adn?
            “Adn. Nama salah satu surga. Selamat datang di surgaku!” Seorang laki-laki berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu tersenyum ke arah Aiden. Alunan musik klasik yang menenangkan, dengan kombinasi aroma berbagai macam kopi yang memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi para penggila kopi, sepertiku.
            Aku lalu bercerita kepadanya, tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden mendengarkanku dengan seksama, sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Kemudian aku sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika aku mulai megap-megap, seperti ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku belum pernah se-antusias ini saat bercerita.
            “Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar ingin menjadi seorang barista, Aiden. Ya, sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara, tenggorokanku seperti terlilit sekarang.
            Perhatianku teralih pada kopi panas di depanku. Kupejamkan mataku, membiarkan indra perasaku mengambil alih hal ini. Cuping hidungku mengembang, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang mengepul dari cangkirnya. Merasakan aroma khasnya mengontaminasi udara di sekitar hidungku. Ini espresso, aku hafal aromanya.
            Aku kembali membuka mata ketika suara Aiden sampai di telingaku. “Kamu bisa menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki. Keningku berlipat, tidak mengerti.
            “Ikut aku.” Setelah mengatakan itu, Aiden berjalan meninggalkan kursinya menuju meja panjang di dekat plat besar. Tempat itu nyaris membuatku melompat saking gembiranya. Bayangkan, tempat keramat itu—Meja barista!
***
Aku memerhatikannya, kedua tangan Aiden yang menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
            Di tangan kirinya, tergenggam cangkir putih yang sepertiga dari isinya berisi kopi. Aku yakin sekali, Aiden akan membuat latte art, proses yang paling kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan cangkir itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Hari ini, aku menantangmu untuk membuat latte art,” katanya.
Mataku berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru telah disuntikkan ke dalam darahku. Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku akan membuktikan pada Aiden, aku juga layak menjadi seorang barista.
***
Otakku kembali memutar kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden menonton aksiku membuat latte art. Awalnya aku kebingungan, berhadapan langsung dengan kopi dan foam membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, bagaimana aku bisa memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
            Saat ini, di hadapanku terdapat karya latte art perdanaku. Latte art yang sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku ingin memuseumkan kopi itu sekarang juga.
            Aku masih mengingat betul kata-kata Aiden yang rasanya patut untuk kugarisbawahi. Secara tidak langsung, Aiden telah memberiku semangat saat mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu sedang bernyanyi, maka kamu telah menjadi seorang penyanyi. Dan ketika kamu sedang meramu kopi dan membuat latte art di atasnya, kamu telah menjadi seorang barista.”
            Kejadian ini seperti menarikku kembali ke realita. Membuatku sadar bahwa ini bukanlah ruang maya, karena semua ini nyata. Aku sedang tidak bermain imajinasi ketika aku berkenalan dengan Aiden, meramu kopi bersamanya, dan membuat latte art saat larut malam—semua ini nyata.
            Dia Aiden, orang yang baru saja mengenalku dan percaya dengan mimpiku, mendukungku untuk terus meraih mimpi itu. Menjadi seorang barista, ini yang kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu, Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang barista sekalipun aku wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah, Ibu? Bukankah Aiden hebat?

Gresik, 15 Oktober 2013—10:29

—Selesai—


I'm tired

Diposting oleh Unknown di 10:45

"Menyukaimu tidak pernah semudah yang kubayangkan."

Ada kalanya aku ingin berhenti, namun hati menolak. Seolah hati ini telah tunduk denganmu, membuatku sulit berpaling.
Kadang aku merasa bahagia bisa menyukai seseorang sepertimu, yang tidak hanya menawan rupa saja, tapi juga menawan akhlaknya.
Kadang juga aku merasa jengah, sampai kapan terus begini?
Ada saat di mana kita bisa begitu dekat, berbagi cerita masing-masing dan saling memahami.
Ada saat di mana kita terlalu jauh. Sadarkah kamu kalau kita justru terlihat aneh bila seperti ini? Sadarkah kamu kalau kita seperti tidak mengenal antar satu sama lain?
Aku selalu memerhatikanmu dari jauh, mengawasimu. 
Aku selalu ingin tahu tentangmu, aku tidak seperti ini sebelumnya.
Tahukah kamu, melihat dari jauh itu benar-benar tidak enak?
Aku ingin menyerah, aku lelah. 

Rabu, 02 Oktober 2013

Allahu Rabbi

Diposting oleh Unknown di 22:09
Allahu Rabbi, hari ini aku belajar tentang sebuah kepercayaan yang seseorang beri padaku. Kepercayaan yang tiba-tiba hilang karena kesalahpahaman. Bagaimana pun aku berteriak 'Bukan aku.', seiring dengan pudarnya rasa percaya itu kepadaku.
Allahu Rabbi, wahai Dzat Yang Maha Mengetahui Segala Yang Terselubung, jangan tutup telinga mereka terhadapku Ya Allah, jangan tutup mata mereka terhadapku Ya Allah, dan jangan hilangkan kepercayaan yang telah mereka beri. Karena sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui atas segala yang tidak mereka ketahui.
Ridhoi setiap langkahku, tunjukkan segala yang benar--agar mereka tahu. 
Allahu Rabbi, hari ini aku belajar untuk ikhlas; bersabar--sebagaimana firman-firmanMu dalam Al-Qur'an. Tuntun aku, karena sesungguhnya aku ini adalah hambamu yang lemah dan dholim.
Tunjukkan kebenaran yang haq, jauhkan dari segala yang bathil. 
Aamiin aamiin Ya Rabbal 'Alamin.

Sabtu, 21 September 2013

Melepas Luka

Diposting oleh Unknown di 20:12

“Aku tidak pernah mengerti bagaimana cinta bisa sesakit ini.” Punggungmu bergetar menahan tangis. Kamu masih seperti 3 tahun yang lalu, belum matang. Aku menggeleng sambil terus memelukmu, seolah dengan bahasa tubuh itu aku menyuruhmu menangis. Kamu menurut, menangis dalam-dalam. Menangisi pria di luar sana yang telah melukaimu. Menyesali rasa sayang yang pernah hadir di antara kalian. Tapi, penyesalan selalu datang terlambat, kan?
            “Kamu salah. Benar-benar salah,” bisikku.
            Perlahan, pelukanmu mulai terurai. Mata berairmu menatapku meminta penjelasan. Aku lalu tersenyum. “Orang yang kamu pilih-lah yang menyakitimu. Bukan cinta. Karena cinta tidak pernah menyakiti.”
             Manik beningmu berkedip beberapa kali. Seolah kesunyian memberi tameng di sekitar kita. Aku mengerti arti tatapan itu. Aku salah, kamu telah mengerti—kamu sudah matang.
***
            Keningmu berkerut samar saat aku membawa sebuah balon berwarna kuning. Aku tidak berani menebak apa yang ada dalam pikiranmu saat ini. Tapi biarlah aku membantumu mengatasi ini. Aku akan membebaskanmu.
            “Balon?” tanyamu dengan kerutan yang makin dalam.
            Kutarik tanganmu perlahan mendekatiku, membiarkanmu mengambil alih benda berisi udara itu ke tanganmu. Kamu berkedip lagi. Aku tahu, kamu butuh penjelasan lebih dari senyum.
            “Kamu tidak bermaksud menghiburku dengan ini, kan?” tanyamu polos. Aku tertawa pelan, memecahkan ketegangan yang tanpa sengaja diciptakan. Aku cepat-cepat melambai, bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?
            Kuraih wajahmu, memaksa mata hitam itu untuk menatapku. Kamu berkedip lagi. Aku sangat menyukai bagaimana caramu memahami—dengan berkedip. “Aku ingin kamu lepaskan balon ini,” kataku. Kamu mengangguk.
            “Aku ingin kamu melepas balon ini seperti kamu melepasnya.” Kamu membeku. Matamu terpaku. “Kamu hanya perlu memejamkan mata rapat-rapat, lalu lepaskan. Semua orang tahu ini berat, tapi percayalah ini yang terbaik." Lanjutku lagi.
            Manik itu terpejam selama beberapa saat. Setitik air matamu jatuh, aku tersenyum menahan perih. Ini benar-benar menyakitimu.
            Segalanya melambat saat perlahan balon itu terlepas dari tanganmu. Seolah himpitan dalam dadamu meledak saat itu juga, kamu menangis. Melihatmu menangis, bolehkah aku mengaku? Selama mengenalmu, aku belum pernah melihatmu menangis sedalam ini. Katakan padaku, apakah ini benar-benar menyakitimu? Apa luka yang ia buat terlalu dalam?
            Kamu jatuh terduduk, menangkup muka dengan kedua tangan—menangis di dalamnya. Aku tidak mencoba mendekat, habiskanlah dukamu. Dalam hati, aku berharap besok akan kutemui lagi senyum yang biasa terulas dibibirmu. Senyum tulus tanpa luka. Bukan pura-pura. Karena kamu telah melepasnya—melepas luka.

Gresik, 21 September 2013—8:10 PM

Sabtu, 14 September 2013

Can't wait! ;)

Diposting oleh Unknown di 21:35
Saturday, 14/9.

Minggu sore di Amsterdam Avenue, Manhattan. Jalanan sepi, sunyi. Hanya terdengar gemeresik daun-daun maple yang bergesekan dengan tanah. Ini sudah musim gugur kedua sejak aku tinggal di Manhattan. Suasananya masih sama, syahdu. Aku menyukai musim gugur beserta segala yang ada di dalamnya. Menurutku mereka indah: langit kemerahan, jalanan yang dipenuhi daun-daun momiji, cuaca yang semakin dingin setiap harinya, semuanya.
            Aku biasa menghabiskan waktu senja bersama Lucia, sahabatku. Secara fisik, dia sempurna. Mata bulat dengan iris amethyst di dalamnya, alis kecoklatan yang membingkai tebal, dahi yang datar, serta bibir tipis yang memesona. Lucia terlihat seperti boneka barbie dengan rambut kuning jagungnya yang lurus. Tidak heran bila banyak pemuda yang jatuh hati padanya, walaupun begitu dia tetap sahabatku.
            Hingga akhirnya, aku tahu bahwa laki-laki yang kusuka juga menyukainya. Walaupun tidak seperti laki-laki lain yang rela bersujud di depan Lucia agar bisa menjadi pacarnya. Ugh! Itu menjijikkan. Rheo berbeda, dia tidak menggunakan cara kampungan seperti yang lainnya. Dia bisa menarik perhatian Lucia dengan caranya. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Lucia mulai luluh. Jangan salahkan Lucia! Dia tidak tahu apa-apa mengenai perasaanku pada Rheo. Aku yang bersalah. Aku yang bodoh. Aku akan menanggung semua efeknya; patah hati misalnya. 
            “Apa yang sedang kaupikirkan? Kau benar-benar tidak ingin bercerita padaku, hm?” suara lembutnya menembus dinding pikiranku. Lucia. Katakan padaku, apakah aku benar-benar mudah terbaca? Lucia bahkan tahu tentang keanehanku akhir-akhir ini. Padahal, aku sudah mati-matian menyembunyikannya. Benarkah aku mudah terbaca?
            “Kau tidak bosan bertanya seperti itu? Aku baik-baik saja, Lucia.” kataku sambil tersenyum ke arahnya. Lucia balas tersenyum. Lihatlah! Tidak heran bila banyak laki-laki yang memujanya. Senyumnya benar-benar manis! Ah, aku berpikir, bagaimana Tuhan menciptakan Lucia dengan seindah ini?
            “Kau … aneh. Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Aku cepat-cepat menggeleng, meyakinkannya. “Sst, jangan bicarakan hal bodoh ini, Lucia. Bagaimana kalau kau saja yang bercerita? Bagaimana hubunganmu dengan … Rheo?” Aku menelan ludahku, tercekat. Kerongkonganku seperti ditusuk-tusuk jarum ketika menyebut nama itu … Rheo. Raut wajah Lucia langsung berubah senang, sudah kuduga Lucia juga menyukai Rheo. Seperti aku menyukai Rheo. Apa ini? Aku cemburu? Yang benar saja! Rheo bukan milikku! Jadi aku tidak berhak cemburu, kan?
            Lucia mulai bercerita, tentang Rheo dan segala hal yang berkaitan dengan caranya mendekati Lucia. Kadang Lucia tertawa sendiri disela-sela dia bercerita. Sebegitu senangkah? Dua orang yang kusayang bahagia, pantaskah aku merebut salah satunya? Jadi aku harus bagaimana? Benar, biar aku saja yang terluka. Satu orang yang sakit lebih baik ketimbang dua orang yang sakit, kan?
            Aku tersenyum lalu mengalihkan pandanganku dari Lucia yang masih bercerita. Aku tidak bisa menahan mataku agar tidak berkaca-kaca seperti sekarang. Aku cengeng, tapi ini benar-benar di luar kendaliku. Tapi biarlah aku menangis sekarang, yang terpenting sahabatku tidak menangis sepertiku. Lucia akan bahagia. Ya, aku tahu.
(Cuplikan "Musim Gugur Kedua" - Dian Agustin, Coming soon!)

Look

Diposting oleh Unknown di 21:04

"If you love someone, eventhough you were moving on. It always be hurt when you see them with someone else."

Just let it go

Diposting oleh Unknown di 20:58

"Kamu hanya perlu memejamkan mata rapat-rapat, lalu lepaskan. Semua orang tahu ini berat, tapi percayalah ini yang terbaik."

@dianonlydian

Kamis, 15 Agustus 2013

Untitled

Diposting oleh Unknown di 23:05
Alice, New York
            Aku begitu membenci hidupku.
            Jika ditanya mengapa aku membenci hidupku, maka aku akan langsung menjawab karena takdir yang tak pernah berpihak padaku. Kemudian, mereka—yang bertanya padaku—akan langsung mengernyitkan dahi dan tidak bertanya lebih lanjut. Ya, aku tentu tahu alasannya. Sederhana saja: mereka langsung menyimpulkan bahwa aku sudah tidak waras. Dan aku akan langsung tersenyum saat mereka menyimpulkan hal itu.
            Hei, mereka tidak sepenuhnya salah. Aku memang sering melamun dan menerawang akhir-akhir ini. Tapi jangan salah, aku tidak sedang melamunkan hal yang tidak-tidak. Aku hanya sedang memikirkan kesalahan apa yang pernah kulakukan hingga membuat laki-laki itu meninggalkanku. Aku benar-benar tidak tahu kesalahanku. Karena seingatku, aku jarang sekali melakukan hal-hal ceroboh yang dapat menyinggung perasaannya. Lalu, apa yang membuatnya meninggalkanku?
            Ibuku pernah berkata kepadaku, bahwa otakku hanyalah berisi air. Aku tidak tahu alasannya mengapa Ibuku berkata seperti itu kepadaku. Aku baru tahu alasannya ketika beberapa kali aku tidak naik kelas di sekolah dasar dan sulit mengikuti pelajaran saat di sekolah menengah. Apa karena itu dia meninggalkanku? Karena aku bodoh?

Aga, New York.
            Gemerlap lampu kota di Fifth Avenue membuatku kembali mengingatnya, mengingat gadis polos itu. Namanya Alice—dan aku sangat menyayanginya. Aku merasa menjadi laki-laki paling kejam saat meninggalkannya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya akan membuatnya terluka. Percayalah, aku bukanlah yang terbaik untuknya.
Mengingatnya selalu membuatku rindu dengannya, dengan tingkah polosnya yang justru membuatku semakin sulit untuk melepas diri. Karena dengan belajar menyayanginya, maka aku pun belajar bertanggung jawab atas dirinya; bertanggung jawab untuk terus melindunginya.
Dengan wajah polosnya, dia pernah bertanya padaku—aku ingat saat itu kakeknya baru saja meninggal dunia: “Mengapa orang secerewet Ibuku tidak mudah mati? Padahal kau pernah menyuruhku untuk tidak cerewet; karena itu akan memperpendek umurku. Nah, kau bisa menjelaskannya padaku, Aga?”
Sudut bibirku terangkat, membentuk sebuah lengkung senyum. Terus bersamanya akan membuatku panjang umur karena selalu tersenyum. Sikap polsonya benar-benar keterlaluan. Aku sampai bertanya-tanya, berapa umurnya yang sebenarnya?
Melepasnya memang bodoh, tapi terus bersamanya akan jadi lebih bodoh
Namaku Aga. Percayalah aku bukanlah pria baik-baik. Karena aku seorang bajingan! Dan aku bangga karena itu. Bila boleh, aku ingin berterimakasih pada Ayahku yang menanamkan prinsip kalau-tidak-brengsek-maka-tidak-bisa-disebut-laki-laki terhadapku. Ternyata Ayah benar, mungkin bila perempuan sebrengsek laki-laki, mereka-lah yang akan ditakuti kaum kami—bukan sebaliknya.
Itulah alasanku meninggalkannya. Aku tidak ingin sikap brengsek yang terlanjur mengalir dalam darahku akan terus memanfaatkan kepolosannya itu. Dengar, aku memang brengsek, tapi memainkan hati perempuan bukanlah kegemaranku. Percaya padaku untuk yang satu ini. Aku cukup gantle, bukan?

Lihatlah bagaimana aku begitu mencintai hidupku.

Minggu, 11 Agustus 2013

Pria Musim Gugur

Diposting oleh Unknown di 21:38
Kalian tahu mengapa aku menyebutnya ‘Pria Musim Gugur’? Jawabannya sederhana saja: karena aku pertama kali bertemu dengannya saat musim gugur. Saat itulah pertama kali aku merasakan musim gugur di Manhattan.
      Menjadi seorang pekerja sipil, menuntut ayahku untuk selalu berpindah tempat tinggal. Aku tidak ingat ini kali keberapa kami semua pindah rumah. Sebenarnya membosankan, karena tentu saja aku tidak bisa berteman dengan orang lain lebih dari satu tahun—bahkan terkadang hanya dalam hitungan bulan saja.
      Maka dari itu, aku lebih memilih untuk tidak berteman saja. Walaupun pengaruhnya bahkan tak pernah kuduga: aku tidak bisa berbagi segala keluh-kesahku. Memendam semuanya sendiri itu tidak enak, sungguh. Dadamu akan terasa penuh sesak yang membuatmu semakin mudah marah dan tertekan.
      Saat itu—aku ingat saat itu bulan Oktober—aku hanya berjalan-jalan santai di dekat flat kami di Columbus Avenue. Sebenarnya aku merasa asing dengan daerah itu, ingatanku yang buruk membuatku enggan untuk menghafal jalan. Tapi sore itu berbeda. Entah apa yang menarikku untuk keluar flat sekadar untuk menikmati indahnya langit musim gugur yang berwarna kemerahan.
      Berjalan sendiri memang sedikit menakutkan, terlebih saat itu aku benar-benar tidak tahu jalan. Tapi dalam hati dan langkahku bergitu yakin kalau aku pasti bisa kembali ke flat sebelum malam tiba. Diiringi embusan angin, aku berjalan-jalan santai menyusuri jalanan Columbus Avenue sembari sesekali bersenandung. Ah, aku tidak akan pernah menyesali keputusanku keluar flat karena ini memang indah sekali! Wilayah Avenue yang di kanan-kirinya ditumbuhi pohon maple yang berjajar rapi. Mungkin selain saat musim semi, pohon-pohon maple itu akan semakin cantik saat musim gugur.
Ingatkan aku untuk kembali besok sore.



Sabtu, 22 Juni 2013

Are you doing fine?

Diposting oleh Unknown di 09:14
Pagi ini, aku kangen kamu. Bodoh memang, tapi yang namanya kangen juga gak akan pernah salah. Iya, kan?
Mungkin kamu sekarang udah lupa dan bahagia di sana. Tapi aku di sini masih bertahan walaupun kamu gak tau itu. It's okey. Aku sayang sama kamu tulus dan gak minta balasan. Aku sayang kamu tanpa pamrih dan kamu gak harus tau itu, kok. :)
Sebenernya, aku juga pengin terbiasa kayak kamu yang udah biasa tanpa aku. Tapi, kamu tau ini sulit ><
Seandainya kamu tau gimana rasanya jadi aku, pasti kamu juga akan rasain gimana takutnya kehilangan (saat itu, sebelum kamu pergi). Dan semua kemungkinan di otakku tiba-tiba menguap setelah aku yakin: udah gak ada harapan.
Eum, anyway, are you doing fine at place without me by your side? I'm not fine because I hate to be alone ... .

Kamis, 20 Juni 2013

Untitled

Diposting oleh Unknown di 22:43
Kalian adalah salah satu hal berharga yang mungkin tak terganti
Karena kalian salah satu alasanku untuk bangun pagi dan tersenyum saat di sekolah.
Di antara kita selalu ada kesenjangan,
Namun, semuanya mulai pudar karna kebersamaan
Kalian adalah salah satu alasan untuk datang pagi ke sekolah
Bertemu kalian adalah anugerah yang Tuhan beri, karena aku tahu Tuhan Maha Baik
Tuhan memberiku malaikat-malaikat berhati baik seperti kalian
Malaikat yang hampir setiap harinya menemani walaupun untuk sekadar tertawa bersama

Kalian adalah keluarga
Tempat kembali saat aku merasa terluka, kalian adalah keluarga
Tapi aku tahu,
Suatu saat nanti, aku akan meninggalkan keluarga untuk menjadi lebih baik
Kalian tahu artinya apa?
Ya, kita … akan berpisah

Entah bagaimana waktu berjalan begitu cepat
Hingga saat-saat berpisah itu tiba, saat ini
Bahagia adalah melihat kita memakai baju kebesaran toga sebagai lulusan tahun 2013
Kita semua lulus, teman!

Aku akan merindukan saat-saat bersama kalian
Waktu yang berlalu menghangat ketika kita bersama
Mengenal kalian, hingga menjadi sedemikian dekat
Semua waktu bersama kalian adalah berharga
Percayalah, aku tidak akan melupakan masa-masa indah itu
Percayalah, karena kita adalah keluarga
Ada saatnya kita akan bertemu kembali setelah berpisah
Akan kutunggu saat-saat kita berjumpa lagi
Aku menyayangi kalian, selalu.


—untuk keluarga besar VII-B; VIII-A; terutama IX-B—

Rabu, 19 Juni 2013

Listen to me, please :'(

Diposting oleh Unknown di 14:26
Pernah tiba-tiba ngerasa kehilangan? Pas semua orang mulai menjauh dan hirauin kamu gitu aja? Pernah? I often feel like that.
Akhir-akhir ini mulai kehilangan satu persatu orang terdekat, rasanya sepi, kecewa, juga iri. Aku gak tau sejak kapan aku gak percaya sama yang namanya sahabat. Karna bahkan orang yang paling dekat—menurutku—adalah orang yang paling mudah nusuk kita. Dan aku mulai ngerasain itu.
Iri itu … ketika sahabatmu dapet perhatian lebih dan kamu gak dapet itu. kecewa itu … pas sahabatmu (bahkan) gak peka dengan apa yang kamu rasain, tapi orang lain justru peka kalo ‘kamu itu lagi gak baik-baik aja’.
Maybe I’m fine outside, but did you ever known that I’m so hurt inside?
Hah~
Dan sepi itu … ketika kamu lebih milih buat sendiri ketimbang ngerasa lebih sakit lagi. Aku udah ngerasain gimana sakitnya sepi, kecewa, juga iri. Ketiganya menguras air mata; dalam hati juga kurang nyaman. Mungkin keadaan seperti ini bisa disebut terpuruk.
Coba sekarang bayangin, gimana rasanya terpuruk—dan saat itu, orang yang kamu butuhin (sangat kamu butuhin) mulai menghilang satu-satu? Coba rasain, gimana sakitnya saat orang-orang yang kamu sayangi, justru mereka sumber rasa sakitmu? Rasanya kayak dibuang pelan-pelan. Tapi yang namanya dibuang—walaupun pelan-pelan—pasti bakalan dilupakan.

Pernah tiba-tiba ngerasa mati rasa? Aku pernah.

Selasa, 18 Juni 2013

Listen!

Diposting oleh Unknown di 11:54
Even though she's my friend, i'll never ever give her the man who I loved >/<

Minggu, 16 Juni 2013

Happy birthday, My sweetest thing!

Diposting oleh Unknown di 22:53
16 Juni 2013 (Ultahmu 17 Juni)
Entah udah berapa tahun aku masih aja 'ngerayain' ulang tahunmu. Engga bisa lupa dan mungkin bakalan selalu inget. Aku kangen banget sama kamu. Kangen banget sampe aku bisa gila karna saking kangennya. >/<
Bingung, lah, mau ngomong apa. Rasanya kayak ngomong secara langsung sama kamu *sigh* Oh ya, udah berapa lama yaa waktu berlalu. Rasanya cepeeet banget. Iya, kan?
Sebenernya, aku pengin jadi orang pertama yang ngucapin ke kamu (walaupun engga secara langsung). Karna kamu tahu, kita jauh :'(
Kamu di kota mana, sih? Enak engga di sana? :(
Aku mau cerita, dengerin yah! Ada seseorang yang nyaris ngerebut tempatmu di sini, lho. Aku engga sebut nama, yah! Eeh, tapi kamu engga marah, kan? Aku suka sama dia. Tapi tetep aku engga bisa lupa sama kamu. Kamu itu ... umm ... something special yang engga akan pernah terganti. Yaa, mungkin emang engga sekuat dulu.
Tapi, sayangnya, *lagi-lagi* dia suka sama seseorang. Dan orang yang dia suka itu ... temen dekatku. Bisa rasain gimana rasanya jadi aku, kan? Hh, relain aja lah. Toh juga mau pisah kan, yaa? *sigh again*
Besok aku wisuda. Kamu udah wisudaan belom? Waktu kita SD engga ada yang namanya wisuda-wisudaan kan yaa? Makanya, ini first time buat aku. Padahal baru kemarin kita lulus SD yaa? Padahal baru kemarin kita rekreasi bareng ke Malang? Dan perasaan baru kemarin aku kenal kamu.

And the last, happy birthday, My first romance. Wishing the best for your life; I wanna meet you (someday) when you've got your dreams! Fighting, darl! Makes your parents so proud of you, My sweetest thing! Lvyu :*

With all of my love,
Dian Agustin

Sabtu, 15 Juni 2013

That's why I can't forget you!

Diposting oleh Unknown di 14:10
Kenapa kamu baik, buat aku engga bisa benci kamu?
Kenapa kamu punya pesona yang bikin aku semakin suka?
Kenapa aku engga bisa lupain kamu? :'(

Jumat, 14 Juni 2013

The Sweet Marshmallow

Diposting oleh Unknown di 12:46
“Dia lebih membutuhkanmu,” ujar seorang pria berambut perunggu sembari mengutak-atik ponselnya. Lawan bicaranya, seorang laki-laki berkulit putih bersih, tersenyum lalu menggeleng.
            “Tapi dia lebih bahagia bersamamu,” balas Royan.
            Laki-laki berambut perunggu bernama Joe itu mengalihkan arah pandangnya, menatap sosok lawan bicaranya dalam-dalam. “Hanya perasaanmu saja.”
            “Tidak. Aku merelakannya untukmu, untuk kau sayangi dan cintai. Awas saja kalau kau berani membuatnya menangis!” ancam Royan sembari meninju pelan bahu Joe. Mereka tertawa ringan sebelum akhirnya Royan memutuskan untuk pergi lebih dulu.
***
Forget mulled wine or spiced cider, the perfect–and wonderfully indulgent–drink for winter is a steaming mug of hot chocolate.

City Bakery, West 18th Street, Manhattan, New York—saat musim dingin
            Karen menambahkan beberapa marshmallow pada secangkir cokelat panasnya. Asap tipis mengepul di sekitar cangkirnya. Tidak lama, Karen menghirup perlahan aroma cokelat panas bercampur marshmallow yang mulai meleleh di cangkirnya. Marshmallow berwarna putih manis kesukaannya. It’s time!
            Rasa manis dan lembut yang ditimbulkan marshmallow membuat sensasi di lidah Karen. Hangat minuman yang berhasil melewati tenggorokannya turut serta membuat senyum gadis itu mengembang. Kegamangan hatinya tiba-tiba menghilang ketika hangat dan lembut marshmallow melebur menjadi perpaduan yang begitu ia sukai.
            Matanya terbelalak ketika seorang pria tiba-tiba saja duduk di hadapannya—di bangku pojok kanan sebuah café. Karen mengerjap tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
            “Kau seperti melihat hantu,” kata pria berambut perunggu sambil mengangkat sebelah alisnya. Karen mengerjap lagi—kali ini sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Namun justru menimbulkan masalah baru untuknya: pipinya memerah.
            “Ah,” Gadis itu menyemburkan napasnya lega setelah berhasil menetralkan debaran jantungnya—walaupun ia sendiri masih belum sepenuhnya yakin. “Kupikir kau memang hantunya, Joe.”
            Joe tertawa pelan, lalu meneruskan pandangannya pada cangkir putih di depan Karen. “Dan kau—marshmallow lagi?”
            Merasa itu sebuah pertanyaan, Karen mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kurasa kau gemar sekali menanyakan hal itu.” ujarnya. Ia mengalihkan arah pandangnya ke sudut café, bau-bauan minuman yang terasa hangat menempel pada dinding-dinding elegan café ini. Dengan lagu-lagu klasik yang mengalun lembut di udara—benar-benar menenangkan dan nyaman ketika salju-salju tipis bergelayut pada angin musim dingin di luar sana.
            Café sedikit lebih ramai hari ini—minggu yang dingin. “Kau tidak ingin memesan sesuatu?” tanyanya. Joe menggeleng pelan, lalu ia menjawab, “Musim dingin membuat perutku sulit menerima apa yang kumakan.”
            “Aneh.” gumamnya.
            “Ya, aku tahu.”
            Karen menyesap cokelat panasnya lagi—menyisakannya hingga separuh dan meletakkan kembali ke meja.
            “Hei, apa aku tidak salah lihat?” seru Joe sambil memerhatikan wajah Karen yang sehalus porselen. Gadis itu berkerut samar, “Hm?”
            “Pipimu bersemu, merah.” katanya. “kupikir itu efek karena tepukanmu tadi. Tapi beberapa detik yang lalu, aku mulai ragu karena efek bekas tepukanmu tidak hilang-hilang. Memudar pun tidak.”
            Karen melebarkan matanya yang sudah bulat sambil menunduk menyembunyikan pipinya. Ia benar-benar salah tingkah kali ini. Dan ia tahu ini bukan yang pertama kali ia rasakan—melainkan sejak pertemuan pertamanya dengan Joe.

Momofuku Milk Bar, Colombus Avenue, Manhattan, New York.
            “Ingin memesan sesuatu?” tanya seorang gadis manis—yang terlihat lebih mirip manekin—di balik etalase besar yang memamerkan kue-kue cantik yang menggoda. Sejenak Karen terpaku memandangi kue-kue cokelat yang berjajar rapi menunggu para pembeli.
            Karen mengalihkan pandangannya dan mengangguk, “Ya, aku ingin cornflakes marshmallow dan americano.” ujarnya bersemangat.
            “Oke,” sahut ‘gadis manekin’ itu sambil tersenyum ramah. “Segera kembali.” lanjutnya sambil berlalu memasuki sebuah ruangan khusus yang tidak ia ketahui tempat apa itu. Karen mengetuk-ngetukkan kukunya yang bercat oranye pada etalase sembari menunggu pelayan itu kembali. Matanya memandangi menu di sebuah papan tulis hitam—dengan tulisan dari kapur berwarna-warni.
            “Menurutmu minuman apa yang enak di sini?”
            Karen menoleh ke sumber suara—seorang laki-laki bertubuh tegap berambut perunggu dengan T-shirt hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Karen tiba-tiba berpikir bahwa mungkin saja laki-laki itu albino.
            “Kau bertanya kepadaku?” tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya tepat di depan hidungnya. Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya, “Mm, kurasa.” jawabnya.
            Karen menurunkan telunjuknya kikuk. “Mm, cappuccino—menurutku.”
            “Oke, aku pesan cappuccino.” seru laki-laki itu seraya menoleh ke arah pelayan di balik etalase besar itu. Karen mengikuti arah pandang laki-laki itu lalu tersenyum. Rupanya ‘gadis manekin’ itu telah kembali dengan pesanannya. Setelah menggumamkan ‘terima kasih’, Karen membawa pesanannya ke salah satu meja pengunjung.
            Seperti biasa, ia menghirup aroma kopi dalam-dalam. Meresapi nikmatnya aroma sedap yang ditimbulkan di setiap tarikan napasnya. Wajahnya turut menghangat terkena asap hangat kopinya.
            “Boleh aku duduk di sini?” suara ini mulai dikenal telinganya sejak beberapa menit yang lalu. Ia sangat yakin itu. Namun untuk memastikan, ia mendongak untuk melihat apakah telinganya dan otaknya masih ‘benar’.
            “Oh, tentu.” ujarnya dengan nada puas karena dugaannya benar. Laki-laki itu menggenggam secangkir yang ia tebak isinya cappuccino—tentu saja. Ia duduk di hadapan Karen dan mulai meminum cappuccino-nya. Karen mengangkat tangan ke dadanya yang tiba-tiba berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang baru saja ia rasakan itu. Dadanya berdebar dua kali lebih cepat daripada biasanya. Dan ia tidak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya.
 “Kau benar.” gumam laki-laki itu.
            Karen mengernyit. “Cappuccino-nya enak sekali.”
            Kerutan di dahi Karen perlahan menghilang. “Senang mendengarnya.”
            “Aku Joe. Kau?”
           
            “Karen? Kau tidak mendengarku?”
            Karen mengerjap lagi dan lagi. Ingatannya terputar kembali pada beberapa bulan yang lalu. Pertemuannya dengan Joe. Lelaki yang saat ini duduk di depannya.
            “Maafkan aku… Aku hanya—” Joe memiringkan wajahnya menatap mata abu-abu milik Karen. “oke, lupakan.” Dan Karen langsung mengalihkan pandangannya.
            “Pekan lalu, Royan menemuiku,” ujarnya sontak membuat Karen menoleh. “Lalu? Mm, maksudku, apa yang dia katakan?”
            “Dia bilang … kau lebih bahagia bersamaku. Dan—”
            “Dan?”
            “Dan dia mengancamku—untuk tidak membuatmu menangis.” Karen mengangkat tangannya ke dahi, masih tidak percaya bila ia diperebutkan oleh Royan dan Joe. Ia tentu tidak ingin persahabatan di antara Royan dan Joe pecah karenanya. Astaga, ia bisa gila!
            “Oke, biar kutebak! Kau—”
            “Tentu saja aku bersedia.”

Kamis, 13 Juni 2013

Uhm, I wanna tell you something

Diposting oleh Unknown di 23:04


Postingan kali ini, uhm, cuma pengin cerita aja. >.<
Malam ini mulai buat outline novel, sih. Ceritanya sih engga terlalu rumit. Konfliknya juga masih sederhana. Tentang labil-nya remaja jaman sekarang (kayak aku!)
Sedikit trauma pake setting luar negeri. Mabok google maps dan terlalu males buat riset lebih dalam; itu salah satu alasannya. Selain itu, bingung cari nama yang pas buat karakter mereka (kan kalo settingnya luar negeri, ada tingkat kesulitan tersendiri, yaa *ngeles). At last, aku pake latar kota tercintahh! *oww!
Dan, puff! Surabaya jadi alternatif pilihanku! Wakaka ^^.
Semoga keterima di SMKN 1 Surabaya, deh! Biar riset settingnya lebih mudah. Aamiin! ^^
Targetku, sih, buat karakter masing-masing tokoh bener-bener hidup. Pray for me, Guys! ^^,
Daan semoga aku engga mandeg di tengah jalan sampe kehabisan ide, yaa hihihi *laugh

Bocoran untuk nama-nama tokoh (yang insya allah) gentayangan di proyek ini:
1. Alena Sandra
2. Jo Alva
3. Julian
4. Aron
5. Karen

Karakter tambahan:
1. Elita
2. Grisabella
3. Royan

Okee, sekian perjumpaan kita kali ini *apasih!
Doakan untuk proyek satu ini!
Good nite, Guys! :*

Regards,
Dian Agustin

Nottie :p

Diposting oleh Unknown di 18:25
Akhir-akhir ini hobi banget nge-blog. Mungkin karena selama ini bingung mau cerita ke siapa. Hahaha X)
Kalo nulis di diary (kaya biasanya), kok malah males banget, ya?
Anyway, this is the way I express my self. How about you, Guys? \^o^/

XOXO
Dian Agustin

Fiction?

Diposting oleh Unknown di 18:15
Abis sholat maghrib, iseng buka-buka buku pelajaran di meja belajar (maklum, udah selesai ujian jadi jarang buka buku lagi). Dari sampulnya, aku langsung ingat kalo aku pernah nulis something di situ. Yaa … mungkin kayak curhatan? Haha X)
Err... abis baca catatan ini, kok tiba-tiba engga percaya pernah se-galau itu. *plak
Baca sendiri, deh. Di buku bergambar daun maple (daun pas musim gugur itu, lho!) itu, tertulis tanggal pembuatan (cielah!) 30 April 2013. Wih, abis UN, kan? Aku aja nyaris lupa kalo pernah nulis ini. So, ini Cuma sekedar share aja. Fiksi atau engga-nya, engga penting! ^^v
Mari membaca! /.\

Catatan pertamaku, 30 April 2013
Ini bukan tentang bagaimana caraku mendefinisikan. Tapi bagaimana aku dapat merasakan. Aku akan menulis apa yang pernah kurasakan—kupastikan ini benar-benar tentang apa yang dapat dirasakan hatiku. Karena ini tentang cinta.
      Aku menyukai bagaimana caranya memandangku: dengan tatapan lembutnya, namun justru membuatku ingin cepat-cepat menunduk. Aku tidak tahu mengapa begitu. Yang jelas, saat itu kurasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya menggelayutiku. Apa kalian bisa menjelaskannya untukku?
       Oh ya, satu lagi: aku juga menyukai bagaimana dia tertawa.
      Dengar, aku akan selalu menyukai caranya membahagiakan dirinya sendiri. Tapi aku tak tahu apakah aku juga akan menyukai caranya menyukai gadis lain? Bila itu benar-benar membuatnya bahagia?
      Pada akhirnya, aku mengetahui siapa gadis yang super beruntung itu. Gadis yang mampu membuat laki-laki yang kusuka jatuh cinta. Kumohon, jangan tanya bagaimana rasanya. Barangkali bila aku boleh memilih, lebih baik tak pernah ada rasa suka untuk laki-laki itu. Percayalah, cemburu itu lebih terdengar manusiawi!
      Tidak tahukah dia, bagaimana aku harus memalingkan wajah—menahan sakit hati saat mendengar kenyataan pahit itu langsung dari mulutnya? Bagaimana dia tega membuatku jauh lebih sedih ketika rasa itu hancur berkeping-keping? Bagaimana bingungnya aku mengatasi rasa sedihku? Bagaimana caraku mengekspresikan tentang hal yang terjadi padaku hari ini?
      Tentang apa yang kurasakan, tahukah dia?

What am I waiting for?

Diposting oleh Unknown di 15:15


I feel like waiting for something that isn't going to happen (_ _")
Just waiting, hoping, and wishing. I can't explain how painful it is. :'(

I'll be okay after it

Diposting oleh Unknown di 14:52


I'll be fine. Just not today.
Let me sad today, because it so hurtful
But I promise, I'll smile again tomorrow.

Dian Agustin

Share Pict

Diposting oleh Unknown di 14:44



What is it you need that makes your heart bleed?
Do you really know?
'Cause it doesn't show -____-

Rabu, 12 Juni 2013

Autumn Leaves

Diposting oleh Unknown di 00:21
Autumn on Her Window


Jumlah kata: 507 :')

Sore hari di Osaka, langit kemerahan menjadi latar musim gugur. Aku memandangi panorama itu dalam diam. Hanya berbataskan kaca tipis, antara aku dan daun-daun musim gugur. Entah bagaimana, yang kurasakan saat musim gugur tiba adalah kehampaan.
            Gaun longgar berbahan satin yang kukenakan tampak menyentuh lantai. Aku tahu, bodoh sekali menggunakan baju setipis itu saat musim gugur. Tapi biarlah, mungkin dengan hawa dingin musim gugur ini, aku bisa sejenak melupakan kehampaan itu.
            Tapi, hei, aku bahkan tidak tahu pasti apa yang membuatku merasakan perasaan menyiksa ini? Hanya karena ia tidak memilihku? Ini bukan yang pertama kali, seingatku. Ia bahkan sudah melakukannya berkali-kali kepadaku. Tapi aku menyayanginya, sepenuh hati. Tiba-tiba aku membenci kenyataan pahit bahwa kita adalah sahabat.
            Hanya sahabat; ingat itu! kau tidak boleh merusaknya—kau tidak boleh mencintainya!
            Mataku memanas meratapi kepedihan yang tiba-tiba menggelegak dalam dada. Sampai kapan terus begini? Menangisi kebodohanku; mencintainya. Dia yang bahkan tidak mencintaiku dan tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku kepadanya.
            Sekuat tenaga, kutahan air mataku. Aku tidak boleh menangis sendirian. Aku sudah berjanji padanya—dan aku pantang mengingkari janji. Kualihkan perhatianku, memandangi daun-daun kecokelatan melalui jendela. Daun-daun maple masih berguguran seiring perjalanan musim gugur. Barangkali aku memang harus menyerah—berhenti mencintainya. Tapi bisakah? Karena hanya dia yang selama ini ada di hatiku. bagaimanapun akan sulit sekali menghapusnya tanpa bekas. Terkadang, hati terlihat seperti sebuah papan tulis: akan meninggalkan bekas—walaupun dihapus hingga sedemikian bersih. Tidak mudah mengubahnya seperti sedia kala.
            Kutundukkan kepalaku, tak tahu harus berpikir bagaimana lagi. Kalau boleh, aku ingin mengaku; aku lelah bila harus bertahan. Bertahan. Tubuhku bergetar lagi. Gejolak dalam dadaku mengalahkan logika. Bahkan aku tidak mengingat janji itu—karena aku mulai menangis. Kupeluk tubuhku yang dingin, sedingin hatiku. Tanpa tahu bagaimana bergetarnya kedua telapak tanganku saat aku menyilangkan keduanya pada lengan.
            Hingga aku merasakan sebuah tangan hangat yang menyentuh pundakku. Aku mengenali kehangatan yang ia timbulkan—begitu mengenali hingga mengagumi. Berjongkok, ia mengusap air mata yang sudah jatuh. Menatap dalam mata cokelat kayunya membuatku ingin menangis sekali lagi, aku tidak tahu perasaan macam apa yang mencoba menyusupi hatiku saat menatap matanya. Mata yang begitu kusukai.
            Ia menghela napas sambil mengelus lembut rambut cokelatku, “Gadis bodoh, mengapa kau mengingkari janjimu? Katakan padaku, hm?” katanya pelan. Dengan mata berkaca-kaca, kugenggam erat tangannya di pipiku. Aku menggeleng, namun tanpa senyum. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku justru sakit. Aku hanya diam sementara bulir-bulir air mata mulai jatuh satu persatu.
            Tangannya yang bebas meraih wajahku, “Ada yang ingin kausampaikan? Ceritakan padaku, aku ingin mendengarnya…,”
            “Mengapa kau selalu bersikap baik padaku? Kau tahu, sikapmu yang seperti ini, justru membuatku sering salah paham.” lirihku lalu menghindari tatapan teduhnya.
            Ia tidak menjawab, membuatku kembali mengangkat muka. Aku tidak tahu apa artinya, tapi ia hanya tersenyum. Perasaan ingin memiliki kembali mendominasi hati dan pikiranku, aku tidak tahu sejak kapan tanganku berani meraih tubuhnya hingga berada dalam pelukanku. Aku hanya ingin mengaku sekarang, karena aku tidak mau menunggu lebih lama lagi.
            “Aku mencintaimu. Aku bilang, aku mencintaimu…,” kataku di tengah isakan yang mendalam. “Kumohon jangan menyukai gadis lain lagi. Karena aku mencintaimu….”
            

 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea