Minggu sore di Amsterdam Avenue,
Manhattan. Jalanan sepi, sunyi. Hanya terdengar gemeresik daun-daun maple yang bergesekan dengan tanah. Ini
sudah musim gugur kedua sejak aku tinggal di Manhattan. Suasananya masih sama,
syahdu. Aku menyukai musim gugur beserta segala yang ada di dalamnya. Menurutku
mereka indah: langit kemerahan, jalanan yang dipenuhi daun-daun momiji, cuaca
yang semakin dingin setiap harinya, semuanya.
Aku
biasa menghabiskan waktu senja bersama Lucia, sahabatku. Secara fisik, dia
sempurna. Mata bulat dengan iris amethyst
di dalamnya, alis kecoklatan yang membingkai tebal, dahi yang datar, serta
bibir tipis yang memesona. Lucia terlihat seperti boneka barbie dengan rambut
kuning jagungnya yang lurus. Tidak heran bila banyak pemuda yang jatuh hati
padanya, walaupun begitu dia tetap sahabatku.
Hingga
akhirnya, aku tahu bahwa laki-laki yang kusuka juga menyukainya. Walaupun tidak
seperti laki-laki lain yang rela bersujud di depan Lucia agar bisa menjadi
pacarnya. Ugh! Itu menjijikkan. Rheo
berbeda, dia tidak menggunakan cara kampungan seperti yang lainnya. Dia bisa
menarik perhatian Lucia dengan caranya. Kalian tahu apa yang terjadi
selanjutnya? Lucia mulai luluh. Jangan salahkan Lucia! Dia tidak tahu apa-apa
mengenai perasaanku pada Rheo. Aku yang bersalah. Aku yang bodoh. Aku akan
menanggung semua efeknya; patah hati misalnya.
“Apa
yang sedang kaupikirkan? Kau benar-benar tidak ingin bercerita padaku, hm?”
suara lembutnya menembus dinding pikiranku. Lucia. Katakan padaku, apakah aku
benar-benar mudah terbaca? Lucia bahkan tahu tentang keanehanku akhir-akhir
ini. Padahal, aku sudah mati-matian menyembunyikannya. Benarkah aku mudah
terbaca?
“Kau
tidak bosan bertanya seperti itu? Aku baik-baik saja, Lucia.” kataku sambil
tersenyum ke arahnya. Lucia balas tersenyum. Lihatlah! Tidak heran bila banyak
laki-laki yang memujanya. Senyumnya benar-benar manis! Ah, aku berpikir,
bagaimana Tuhan menciptakan Lucia dengan seindah ini?
“Kau
… aneh. Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Aku cepat-cepat
menggeleng, meyakinkannya. “Sst, jangan bicarakan hal bodoh ini, Lucia.
Bagaimana kalau kau saja yang bercerita? Bagaimana hubunganmu dengan … Rheo?” Aku
menelan ludahku, tercekat. Kerongkonganku seperti ditusuk-tusuk jarum ketika
menyebut nama itu … Rheo. Raut wajah Lucia langsung berubah senang, sudah
kuduga Lucia juga menyukai Rheo. Seperti aku menyukai Rheo. Apa ini? Aku
cemburu? Yang benar saja! Rheo bukan milikku! Jadi aku tidak berhak cemburu,
kan?
Lucia
mulai bercerita, tentang Rheo dan segala hal yang berkaitan dengan caranya
mendekati Lucia. Kadang Lucia tertawa sendiri disela-sela dia bercerita.
Sebegitu senangkah? Dua orang yang kusayang bahagia, pantaskah aku merebut
salah satunya? Jadi aku harus bagaimana? Benar, biar aku saja yang terluka.
Satu orang yang sakit lebih baik ketimbang dua orang yang sakit, kan?
Aku
tersenyum lalu mengalihkan pandanganku dari Lucia yang masih bercerita. Aku
tidak bisa menahan mataku agar tidak berkaca-kaca seperti sekarang. Aku
cengeng, tapi ini benar-benar di luar kendaliku. Tapi biarlah aku menangis
sekarang, yang terpenting sahabatku tidak menangis sepertiku. Lucia akan
bahagia. Ya, aku tahu.
(Cuplikan "Musim Gugur Kedua" - Dian Agustin, Coming soon!)