Sabtu, 14 September 2013

Can't wait! ;)

Diposting oleh Unknown di 21:35
Saturday, 14/9.

Minggu sore di Amsterdam Avenue, Manhattan. Jalanan sepi, sunyi. Hanya terdengar gemeresik daun-daun maple yang bergesekan dengan tanah. Ini sudah musim gugur kedua sejak aku tinggal di Manhattan. Suasananya masih sama, syahdu. Aku menyukai musim gugur beserta segala yang ada di dalamnya. Menurutku mereka indah: langit kemerahan, jalanan yang dipenuhi daun-daun momiji, cuaca yang semakin dingin setiap harinya, semuanya.
            Aku biasa menghabiskan waktu senja bersama Lucia, sahabatku. Secara fisik, dia sempurna. Mata bulat dengan iris amethyst di dalamnya, alis kecoklatan yang membingkai tebal, dahi yang datar, serta bibir tipis yang memesona. Lucia terlihat seperti boneka barbie dengan rambut kuning jagungnya yang lurus. Tidak heran bila banyak pemuda yang jatuh hati padanya, walaupun begitu dia tetap sahabatku.
            Hingga akhirnya, aku tahu bahwa laki-laki yang kusuka juga menyukainya. Walaupun tidak seperti laki-laki lain yang rela bersujud di depan Lucia agar bisa menjadi pacarnya. Ugh! Itu menjijikkan. Rheo berbeda, dia tidak menggunakan cara kampungan seperti yang lainnya. Dia bisa menarik perhatian Lucia dengan caranya. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Lucia mulai luluh. Jangan salahkan Lucia! Dia tidak tahu apa-apa mengenai perasaanku pada Rheo. Aku yang bersalah. Aku yang bodoh. Aku akan menanggung semua efeknya; patah hati misalnya. 
            “Apa yang sedang kaupikirkan? Kau benar-benar tidak ingin bercerita padaku, hm?” suara lembutnya menembus dinding pikiranku. Lucia. Katakan padaku, apakah aku benar-benar mudah terbaca? Lucia bahkan tahu tentang keanehanku akhir-akhir ini. Padahal, aku sudah mati-matian menyembunyikannya. Benarkah aku mudah terbaca?
            “Kau tidak bosan bertanya seperti itu? Aku baik-baik saja, Lucia.” kataku sambil tersenyum ke arahnya. Lucia balas tersenyum. Lihatlah! Tidak heran bila banyak laki-laki yang memujanya. Senyumnya benar-benar manis! Ah, aku berpikir, bagaimana Tuhan menciptakan Lucia dengan seindah ini?
            “Kau … aneh. Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Aku cepat-cepat menggeleng, meyakinkannya. “Sst, jangan bicarakan hal bodoh ini, Lucia. Bagaimana kalau kau saja yang bercerita? Bagaimana hubunganmu dengan … Rheo?” Aku menelan ludahku, tercekat. Kerongkonganku seperti ditusuk-tusuk jarum ketika menyebut nama itu … Rheo. Raut wajah Lucia langsung berubah senang, sudah kuduga Lucia juga menyukai Rheo. Seperti aku menyukai Rheo. Apa ini? Aku cemburu? Yang benar saja! Rheo bukan milikku! Jadi aku tidak berhak cemburu, kan?
            Lucia mulai bercerita, tentang Rheo dan segala hal yang berkaitan dengan caranya mendekati Lucia. Kadang Lucia tertawa sendiri disela-sela dia bercerita. Sebegitu senangkah? Dua orang yang kusayang bahagia, pantaskah aku merebut salah satunya? Jadi aku harus bagaimana? Benar, biar aku saja yang terluka. Satu orang yang sakit lebih baik ketimbang dua orang yang sakit, kan?
            Aku tersenyum lalu mengalihkan pandanganku dari Lucia yang masih bercerita. Aku tidak bisa menahan mataku agar tidak berkaca-kaca seperti sekarang. Aku cengeng, tapi ini benar-benar di luar kendaliku. Tapi biarlah aku menangis sekarang, yang terpenting sahabatku tidak menangis sepertiku. Lucia akan bahagia. Ya, aku tahu.
(Cuplikan "Musim Gugur Kedua" - Dian Agustin, Coming soon!)
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea