Sabtu, 21 September 2013

Melepas Luka

Diposting oleh Unknown di 20:12

“Aku tidak pernah mengerti bagaimana cinta bisa sesakit ini.” Punggungmu bergetar menahan tangis. Kamu masih seperti 3 tahun yang lalu, belum matang. Aku menggeleng sambil terus memelukmu, seolah dengan bahasa tubuh itu aku menyuruhmu menangis. Kamu menurut, menangis dalam-dalam. Menangisi pria di luar sana yang telah melukaimu. Menyesali rasa sayang yang pernah hadir di antara kalian. Tapi, penyesalan selalu datang terlambat, kan?
            “Kamu salah. Benar-benar salah,” bisikku.
            Perlahan, pelukanmu mulai terurai. Mata berairmu menatapku meminta penjelasan. Aku lalu tersenyum. “Orang yang kamu pilih-lah yang menyakitimu. Bukan cinta. Karena cinta tidak pernah menyakiti.”
             Manik beningmu berkedip beberapa kali. Seolah kesunyian memberi tameng di sekitar kita. Aku mengerti arti tatapan itu. Aku salah, kamu telah mengerti—kamu sudah matang.
***
            Keningmu berkerut samar saat aku membawa sebuah balon berwarna kuning. Aku tidak berani menebak apa yang ada dalam pikiranmu saat ini. Tapi biarlah aku membantumu mengatasi ini. Aku akan membebaskanmu.
            “Balon?” tanyamu dengan kerutan yang makin dalam.
            Kutarik tanganmu perlahan mendekatiku, membiarkanmu mengambil alih benda berisi udara itu ke tanganmu. Kamu berkedip lagi. Aku tahu, kamu butuh penjelasan lebih dari senyum.
            “Kamu tidak bermaksud menghiburku dengan ini, kan?” tanyamu polos. Aku tertawa pelan, memecahkan ketegangan yang tanpa sengaja diciptakan. Aku cepat-cepat melambai, bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?
            Kuraih wajahmu, memaksa mata hitam itu untuk menatapku. Kamu berkedip lagi. Aku sangat menyukai bagaimana caramu memahami—dengan berkedip. “Aku ingin kamu lepaskan balon ini,” kataku. Kamu mengangguk.
            “Aku ingin kamu melepas balon ini seperti kamu melepasnya.” Kamu membeku. Matamu terpaku. “Kamu hanya perlu memejamkan mata rapat-rapat, lalu lepaskan. Semua orang tahu ini berat, tapi percayalah ini yang terbaik." Lanjutku lagi.
            Manik itu terpejam selama beberapa saat. Setitik air matamu jatuh, aku tersenyum menahan perih. Ini benar-benar menyakitimu.
            Segalanya melambat saat perlahan balon itu terlepas dari tanganmu. Seolah himpitan dalam dadamu meledak saat itu juga, kamu menangis. Melihatmu menangis, bolehkah aku mengaku? Selama mengenalmu, aku belum pernah melihatmu menangis sedalam ini. Katakan padaku, apakah ini benar-benar menyakitimu? Apa luka yang ia buat terlalu dalam?
            Kamu jatuh terduduk, menangkup muka dengan kedua tangan—menangis di dalamnya. Aku tidak mencoba mendekat, habiskanlah dukamu. Dalam hati, aku berharap besok akan kutemui lagi senyum yang biasa terulas dibibirmu. Senyum tulus tanpa luka. Bukan pura-pura. Karena kamu telah melepasnya—melepas luka.

Gresik, 21 September 2013—8:10 PM
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea