Sore hari di Osaka, langit kemerahan menjadi
latar musim gugur. Aku memandangi panorama itu dalam diam. Hanya berbataskan
kaca tipis, antara aku dan daun-daun musim gugur. Entah bagaimana, yang
kurasakan saat musim gugur tiba adalah kehampaan.
Gaun
longgar berbahan satin yang kukenakan tampak menyentuh lantai. Aku tahu, bodoh
sekali menggunakan baju setipis itu saat musim gugur. Tapi biarlah, mungkin
dengan hawa dingin musim gugur ini, aku bisa sejenak melupakan kehampaan itu.
Tapi,
hei, aku bahkan tidak tahu pasti apa yang membuatku merasakan perasaan menyiksa
ini? Hanya karena ia tidak memilihku? Ini bukan yang pertama kali, seingatku.
Ia bahkan sudah melakukannya berkali-kali kepadaku. Tapi aku menyayanginya,
sepenuh hati. Tiba-tiba aku membenci kenyataan pahit bahwa kita adalah sahabat.
Hanya sahabat; ingat itu! kau tidak boleh merusaknya—kau
tidak boleh mencintainya!
Mataku
memanas meratapi kepedihan yang tiba-tiba menggelegak dalam dada. Sampai kapan
terus begini? Menangisi kebodohanku; mencintainya. Dia yang bahkan tidak
mencintaiku dan tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku kepadanya.
Sekuat
tenaga, kutahan air mataku. Aku tidak boleh menangis sendirian. Aku sudah
berjanji padanya—dan aku pantang mengingkari janji. Kualihkan perhatianku,
memandangi daun-daun kecokelatan melalui jendela. Daun-daun maple masih
berguguran seiring perjalanan musim gugur. Barangkali aku memang harus menyerah—berhenti
mencintainya. Tapi bisakah? Karena hanya dia yang selama ini ada di hatiku.
bagaimanapun akan sulit sekali menghapusnya tanpa bekas. Terkadang, hati
terlihat seperti sebuah papan tulis: akan meninggalkan bekas—walaupun dihapus
hingga sedemikian bersih. Tidak mudah mengubahnya seperti sedia kala.
Kutundukkan
kepalaku, tak tahu harus berpikir bagaimana lagi. Kalau boleh, aku ingin
mengaku; aku lelah bila harus bertahan. Bertahan.
Tubuhku bergetar lagi. Gejolak dalam dadaku mengalahkan logika. Bahkan aku
tidak mengingat janji itu—karena aku mulai menangis. Kupeluk tubuhku yang
dingin, sedingin hatiku. Tanpa tahu bagaimana bergetarnya kedua telapak
tanganku saat aku menyilangkan keduanya pada lengan.
Hingga
aku merasakan sebuah tangan hangat yang menyentuh pundakku. Aku mengenali kehangatan
yang ia timbulkan—begitu mengenali hingga mengagumi. Berjongkok, ia mengusap
air mata yang sudah jatuh. Menatap dalam mata cokelat kayunya membuatku ingin
menangis sekali lagi, aku tidak tahu perasaan macam apa yang mencoba menyusupi
hatiku saat menatap matanya. Mata yang begitu kusukai.
Ia
menghela napas sambil mengelus lembut rambut cokelatku, “Gadis bodoh, mengapa
kau mengingkari janjimu? Katakan padaku, hm?” katanya pelan. Dengan mata
berkaca-kaca, kugenggam erat tangannya di pipiku. Aku menggeleng, namun tanpa
senyum. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku justru sakit. Aku
hanya diam sementara bulir-bulir air mata mulai jatuh satu persatu.
Tangannya
yang bebas meraih wajahku, “Ada yang ingin kausampaikan? Ceritakan padaku, aku
ingin mendengarnya…,”
“Mengapa
kau selalu bersikap baik padaku? Kau tahu, sikapmu yang seperti ini, justru
membuatku sering salah paham.” lirihku lalu menghindari tatapan teduhnya.
Ia
tidak menjawab, membuatku kembali mengangkat muka. Aku tidak tahu apa artinya, tapi ia
hanya tersenyum. Perasaan ingin memiliki kembali mendominasi hati dan
pikiranku, aku tidak tahu sejak kapan tanganku berani meraih tubuhnya hingga berada dalam pelukanku. Aku hanya ingin mengaku sekarang, karena aku tidak mau menunggu
lebih lama lagi.
“Aku
mencintaimu. Aku bilang, aku mencintaimu…,” kataku di tengah isakan yang
mendalam. “Kumohon jangan menyukai gadis lain lagi. Karena aku mencintaimu….”