Rabu, 12 Juni 2013

Autumn Leaves

Diposting oleh Unknown di 00:21
Autumn on Her Window


Jumlah kata: 507 :')

Sore hari di Osaka, langit kemerahan menjadi latar musim gugur. Aku memandangi panorama itu dalam diam. Hanya berbataskan kaca tipis, antara aku dan daun-daun musim gugur. Entah bagaimana, yang kurasakan saat musim gugur tiba adalah kehampaan.
            Gaun longgar berbahan satin yang kukenakan tampak menyentuh lantai. Aku tahu, bodoh sekali menggunakan baju setipis itu saat musim gugur. Tapi biarlah, mungkin dengan hawa dingin musim gugur ini, aku bisa sejenak melupakan kehampaan itu.
            Tapi, hei, aku bahkan tidak tahu pasti apa yang membuatku merasakan perasaan menyiksa ini? Hanya karena ia tidak memilihku? Ini bukan yang pertama kali, seingatku. Ia bahkan sudah melakukannya berkali-kali kepadaku. Tapi aku menyayanginya, sepenuh hati. Tiba-tiba aku membenci kenyataan pahit bahwa kita adalah sahabat.
            Hanya sahabat; ingat itu! kau tidak boleh merusaknya—kau tidak boleh mencintainya!
            Mataku memanas meratapi kepedihan yang tiba-tiba menggelegak dalam dada. Sampai kapan terus begini? Menangisi kebodohanku; mencintainya. Dia yang bahkan tidak mencintaiku dan tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku kepadanya.
            Sekuat tenaga, kutahan air mataku. Aku tidak boleh menangis sendirian. Aku sudah berjanji padanya—dan aku pantang mengingkari janji. Kualihkan perhatianku, memandangi daun-daun kecokelatan melalui jendela. Daun-daun maple masih berguguran seiring perjalanan musim gugur. Barangkali aku memang harus menyerah—berhenti mencintainya. Tapi bisakah? Karena hanya dia yang selama ini ada di hatiku. bagaimanapun akan sulit sekali menghapusnya tanpa bekas. Terkadang, hati terlihat seperti sebuah papan tulis: akan meninggalkan bekas—walaupun dihapus hingga sedemikian bersih. Tidak mudah mengubahnya seperti sedia kala.
            Kutundukkan kepalaku, tak tahu harus berpikir bagaimana lagi. Kalau boleh, aku ingin mengaku; aku lelah bila harus bertahan. Bertahan. Tubuhku bergetar lagi. Gejolak dalam dadaku mengalahkan logika. Bahkan aku tidak mengingat janji itu—karena aku mulai menangis. Kupeluk tubuhku yang dingin, sedingin hatiku. Tanpa tahu bagaimana bergetarnya kedua telapak tanganku saat aku menyilangkan keduanya pada lengan.
            Hingga aku merasakan sebuah tangan hangat yang menyentuh pundakku. Aku mengenali kehangatan yang ia timbulkan—begitu mengenali hingga mengagumi. Berjongkok, ia mengusap air mata yang sudah jatuh. Menatap dalam mata cokelat kayunya membuatku ingin menangis sekali lagi, aku tidak tahu perasaan macam apa yang mencoba menyusupi hatiku saat menatap matanya. Mata yang begitu kusukai.
            Ia menghela napas sambil mengelus lembut rambut cokelatku, “Gadis bodoh, mengapa kau mengingkari janjimu? Katakan padaku, hm?” katanya pelan. Dengan mata berkaca-kaca, kugenggam erat tangannya di pipiku. Aku menggeleng, namun tanpa senyum. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku justru sakit. Aku hanya diam sementara bulir-bulir air mata mulai jatuh satu persatu.
            Tangannya yang bebas meraih wajahku, “Ada yang ingin kausampaikan? Ceritakan padaku, aku ingin mendengarnya…,”
            “Mengapa kau selalu bersikap baik padaku? Kau tahu, sikapmu yang seperti ini, justru membuatku sering salah paham.” lirihku lalu menghindari tatapan teduhnya.
            Ia tidak menjawab, membuatku kembali mengangkat muka. Aku tidak tahu apa artinya, tapi ia hanya tersenyum. Perasaan ingin memiliki kembali mendominasi hati dan pikiranku, aku tidak tahu sejak kapan tanganku berani meraih tubuhnya hingga berada dalam pelukanku. Aku hanya ingin mengaku sekarang, karena aku tidak mau menunggu lebih lama lagi.
            “Aku mencintaimu. Aku bilang, aku mencintaimu…,” kataku di tengah isakan yang mendalam. “Kumohon jangan menyukai gadis lain lagi. Karena aku mencintaimu….”
            

 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea