Jumat, 14 Juni 2013

The Sweet Marshmallow

Diposting oleh Unknown di 12:46
“Dia lebih membutuhkanmu,” ujar seorang pria berambut perunggu sembari mengutak-atik ponselnya. Lawan bicaranya, seorang laki-laki berkulit putih bersih, tersenyum lalu menggeleng.
            “Tapi dia lebih bahagia bersamamu,” balas Royan.
            Laki-laki berambut perunggu bernama Joe itu mengalihkan arah pandangnya, menatap sosok lawan bicaranya dalam-dalam. “Hanya perasaanmu saja.”
            “Tidak. Aku merelakannya untukmu, untuk kau sayangi dan cintai. Awas saja kalau kau berani membuatnya menangis!” ancam Royan sembari meninju pelan bahu Joe. Mereka tertawa ringan sebelum akhirnya Royan memutuskan untuk pergi lebih dulu.
***
Forget mulled wine or spiced cider, the perfect–and wonderfully indulgent–drink for winter is a steaming mug of hot chocolate.

City Bakery, West 18th Street, Manhattan, New York—saat musim dingin
            Karen menambahkan beberapa marshmallow pada secangkir cokelat panasnya. Asap tipis mengepul di sekitar cangkirnya. Tidak lama, Karen menghirup perlahan aroma cokelat panas bercampur marshmallow yang mulai meleleh di cangkirnya. Marshmallow berwarna putih manis kesukaannya. It’s time!
            Rasa manis dan lembut yang ditimbulkan marshmallow membuat sensasi di lidah Karen. Hangat minuman yang berhasil melewati tenggorokannya turut serta membuat senyum gadis itu mengembang. Kegamangan hatinya tiba-tiba menghilang ketika hangat dan lembut marshmallow melebur menjadi perpaduan yang begitu ia sukai.
            Matanya terbelalak ketika seorang pria tiba-tiba saja duduk di hadapannya—di bangku pojok kanan sebuah café. Karen mengerjap tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
            “Kau seperti melihat hantu,” kata pria berambut perunggu sambil mengangkat sebelah alisnya. Karen mengerjap lagi—kali ini sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Namun justru menimbulkan masalah baru untuknya: pipinya memerah.
            “Ah,” Gadis itu menyemburkan napasnya lega setelah berhasil menetralkan debaran jantungnya—walaupun ia sendiri masih belum sepenuhnya yakin. “Kupikir kau memang hantunya, Joe.”
            Joe tertawa pelan, lalu meneruskan pandangannya pada cangkir putih di depan Karen. “Dan kau—marshmallow lagi?”
            Merasa itu sebuah pertanyaan, Karen mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kurasa kau gemar sekali menanyakan hal itu.” ujarnya. Ia mengalihkan arah pandangnya ke sudut café, bau-bauan minuman yang terasa hangat menempel pada dinding-dinding elegan café ini. Dengan lagu-lagu klasik yang mengalun lembut di udara—benar-benar menenangkan dan nyaman ketika salju-salju tipis bergelayut pada angin musim dingin di luar sana.
            Café sedikit lebih ramai hari ini—minggu yang dingin. “Kau tidak ingin memesan sesuatu?” tanyanya. Joe menggeleng pelan, lalu ia menjawab, “Musim dingin membuat perutku sulit menerima apa yang kumakan.”
            “Aneh.” gumamnya.
            “Ya, aku tahu.”
            Karen menyesap cokelat panasnya lagi—menyisakannya hingga separuh dan meletakkan kembali ke meja.
            “Hei, apa aku tidak salah lihat?” seru Joe sambil memerhatikan wajah Karen yang sehalus porselen. Gadis itu berkerut samar, “Hm?”
            “Pipimu bersemu, merah.” katanya. “kupikir itu efek karena tepukanmu tadi. Tapi beberapa detik yang lalu, aku mulai ragu karena efek bekas tepukanmu tidak hilang-hilang. Memudar pun tidak.”
            Karen melebarkan matanya yang sudah bulat sambil menunduk menyembunyikan pipinya. Ia benar-benar salah tingkah kali ini. Dan ia tahu ini bukan yang pertama kali ia rasakan—melainkan sejak pertemuan pertamanya dengan Joe.

Momofuku Milk Bar, Colombus Avenue, Manhattan, New York.
            “Ingin memesan sesuatu?” tanya seorang gadis manis—yang terlihat lebih mirip manekin—di balik etalase besar yang memamerkan kue-kue cantik yang menggoda. Sejenak Karen terpaku memandangi kue-kue cokelat yang berjajar rapi menunggu para pembeli.
            Karen mengalihkan pandangannya dan mengangguk, “Ya, aku ingin cornflakes marshmallow dan americano.” ujarnya bersemangat.
            “Oke,” sahut ‘gadis manekin’ itu sambil tersenyum ramah. “Segera kembali.” lanjutnya sambil berlalu memasuki sebuah ruangan khusus yang tidak ia ketahui tempat apa itu. Karen mengetuk-ngetukkan kukunya yang bercat oranye pada etalase sembari menunggu pelayan itu kembali. Matanya memandangi menu di sebuah papan tulis hitam—dengan tulisan dari kapur berwarna-warni.
            “Menurutmu minuman apa yang enak di sini?”
            Karen menoleh ke sumber suara—seorang laki-laki bertubuh tegap berambut perunggu dengan T-shirt hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Karen tiba-tiba berpikir bahwa mungkin saja laki-laki itu albino.
            “Kau bertanya kepadaku?” tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya tepat di depan hidungnya. Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya, “Mm, kurasa.” jawabnya.
            Karen menurunkan telunjuknya kikuk. “Mm, cappuccino—menurutku.”
            “Oke, aku pesan cappuccino.” seru laki-laki itu seraya menoleh ke arah pelayan di balik etalase besar itu. Karen mengikuti arah pandang laki-laki itu lalu tersenyum. Rupanya ‘gadis manekin’ itu telah kembali dengan pesanannya. Setelah menggumamkan ‘terima kasih’, Karen membawa pesanannya ke salah satu meja pengunjung.
            Seperti biasa, ia menghirup aroma kopi dalam-dalam. Meresapi nikmatnya aroma sedap yang ditimbulkan di setiap tarikan napasnya. Wajahnya turut menghangat terkena asap hangat kopinya.
            “Boleh aku duduk di sini?” suara ini mulai dikenal telinganya sejak beberapa menit yang lalu. Ia sangat yakin itu. Namun untuk memastikan, ia mendongak untuk melihat apakah telinganya dan otaknya masih ‘benar’.
            “Oh, tentu.” ujarnya dengan nada puas karena dugaannya benar. Laki-laki itu menggenggam secangkir yang ia tebak isinya cappuccino—tentu saja. Ia duduk di hadapan Karen dan mulai meminum cappuccino-nya. Karen mengangkat tangan ke dadanya yang tiba-tiba berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang baru saja ia rasakan itu. Dadanya berdebar dua kali lebih cepat daripada biasanya. Dan ia tidak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya.
 “Kau benar.” gumam laki-laki itu.
            Karen mengernyit. “Cappuccino-nya enak sekali.”
            Kerutan di dahi Karen perlahan menghilang. “Senang mendengarnya.”
            “Aku Joe. Kau?”
           
            “Karen? Kau tidak mendengarku?”
            Karen mengerjap lagi dan lagi. Ingatannya terputar kembali pada beberapa bulan yang lalu. Pertemuannya dengan Joe. Lelaki yang saat ini duduk di depannya.
            “Maafkan aku… Aku hanya—” Joe memiringkan wajahnya menatap mata abu-abu milik Karen. “oke, lupakan.” Dan Karen langsung mengalihkan pandangannya.
            “Pekan lalu, Royan menemuiku,” ujarnya sontak membuat Karen menoleh. “Lalu? Mm, maksudku, apa yang dia katakan?”
            “Dia bilang … kau lebih bahagia bersamaku. Dan—”
            “Dan?”
            “Dan dia mengancamku—untuk tidak membuatmu menangis.” Karen mengangkat tangannya ke dahi, masih tidak percaya bila ia diperebutkan oleh Royan dan Joe. Ia tentu tidak ingin persahabatan di antara Royan dan Joe pecah karenanya. Astaga, ia bisa gila!
            “Oke, biar kutebak! Kau—”
            “Tentu saja aku bersedia.”
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea