“Dia lebih membutuhkanmu,” ujar seorang
pria berambut perunggu sembari mengutak-atik ponselnya. Lawan bicaranya,
seorang laki-laki berkulit putih bersih, tersenyum lalu menggeleng.
“Tapi
dia lebih bahagia bersamamu,” balas Royan.
Laki-laki
berambut perunggu bernama Joe itu mengalihkan arah pandangnya, menatap sosok
lawan bicaranya dalam-dalam. “Hanya perasaanmu saja.”
“Tidak.
Aku merelakannya untukmu, untuk kau sayangi dan cintai. Awas saja kalau kau
berani membuatnya menangis!” ancam Royan sembari meninju pelan bahu Joe. Mereka
tertawa ringan sebelum akhirnya Royan memutuskan untuk pergi lebih dulu.
***
Forget mulled wine or spiced
cider, the perfect–and wonderfully indulgent–drink for winter is a steaming mug
of hot chocolate.
City Bakery, West 18th
Street, Manhattan, New York—saat musim dingin
Karen menambahkan beberapa marshmallow pada secangkir cokelat
panasnya. Asap tipis mengepul di sekitar cangkirnya. Tidak lama, Karen
menghirup perlahan aroma cokelat panas bercampur marshmallow yang mulai meleleh di cangkirnya. Marshmallow berwarna putih manis kesukaannya. It’s time!
Rasa manis dan lembut yang
ditimbulkan marshmallow membuat
sensasi di lidah Karen. Hangat minuman yang berhasil melewati tenggorokannya
turut serta membuat senyum gadis itu mengembang. Kegamangan hatinya tiba-tiba
menghilang ketika hangat dan lembut marshmallow
melebur menjadi perpaduan yang begitu
ia sukai.
Matanya terbelalak ketika seorang
pria tiba-tiba saja duduk di hadapannya—di bangku pojok kanan sebuah café.
Karen mengerjap tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Kau seperti melihat hantu,” kata
pria berambut perunggu sambil mengangkat sebelah alisnya. Karen mengerjap
lagi—kali ini sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. Namun justru menimbulkan masalah
baru untuknya: pipinya memerah.
“Ah,” Gadis itu menyemburkan
napasnya lega setelah berhasil menetralkan debaran jantungnya—walaupun ia
sendiri masih belum sepenuhnya yakin. “Kupikir kau memang hantunya, Joe.”
Joe tertawa pelan, lalu meneruskan
pandangannya pada cangkir putih di depan Karen. “Dan kau—marshmallow lagi?”
Merasa itu sebuah pertanyaan, Karen
mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kurasa kau gemar sekali menanyakan hal
itu.” ujarnya. Ia mengalihkan arah pandangnya ke sudut café, bau-bauan minuman
yang terasa hangat menempel pada dinding-dinding elegan café ini. Dengan
lagu-lagu klasik yang mengalun lembut di udara—benar-benar menenangkan dan
nyaman ketika salju-salju tipis bergelayut pada angin musim dingin di luar
sana.
Café sedikit lebih ramai hari
ini—minggu yang dingin. “Kau tidak ingin memesan sesuatu?” tanyanya. Joe
menggeleng pelan, lalu ia menjawab, “Musim dingin membuat perutku sulit
menerima apa yang kumakan.”
“Aneh.” gumamnya.
“Ya, aku tahu.”
Karen menyesap cokelat panasnya lagi—menyisakannya
hingga separuh dan meletakkan kembali ke meja.
“Hei, apa aku tidak salah lihat?”
seru Joe sambil memerhatikan wajah Karen yang sehalus porselen. Gadis itu
berkerut samar, “Hm?”
“Pipimu bersemu, merah.” katanya.
“kupikir itu efek karena tepukanmu tadi. Tapi beberapa detik yang lalu, aku
mulai ragu karena efek bekas tepukanmu tidak hilang-hilang. Memudar pun tidak.”
Karen melebarkan matanya yang sudah
bulat sambil menunduk menyembunyikan pipinya. Ia benar-benar salah tingkah kali
ini. Dan ia tahu ini bukan yang pertama kali ia rasakan—melainkan sejak
pertemuan pertamanya dengan Joe.
Momofuku
Milk Bar, Colombus Avenue, Manhattan, New York.
“Ingin
memesan sesuatu?” tanya seorang gadis manis—yang terlihat lebih mirip
manekin—di balik etalase besar yang memamerkan kue-kue cantik yang menggoda.
Sejenak Karen terpaku memandangi kue-kue cokelat yang berjajar rapi menunggu
para pembeli.
Karen
mengalihkan pandangannya dan mengangguk, “Ya, aku ingin cornflakes
marshmallow dan americano.” ujarnya bersemangat.
“Oke,”
sahut ‘gadis manekin’ itu sambil tersenyum ramah. “Segera kembali.” lanjutnya
sambil berlalu memasuki sebuah ruangan khusus yang tidak ia ketahui tempat apa
itu. Karen mengetuk-ngetukkan kukunya yang bercat oranye pada etalase sembari
menunggu pelayan itu kembali. Matanya memandangi menu di sebuah papan tulis
hitam—dengan tulisan dari kapur berwarna-warni.
“Menurutmu
minuman apa yang enak di sini?”
Karen
menoleh ke sumber suara—seorang laki-laki bertubuh tegap berambut perunggu
dengan T-shirt hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat.
Karen tiba-tiba berpikir bahwa mungkin saja laki-laki itu albino.
“Kau
bertanya kepadaku?” tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya tepat di depan
hidungnya. Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya, “Mm, kurasa.” jawabnya.
Karen
menurunkan telunjuknya kikuk. “Mm, cappuccino—menurutku.”
“Oke,
aku pesan cappuccino.”
seru laki-laki itu seraya menoleh ke arah pelayan di balik etalase besar itu.
Karen mengikuti arah pandang laki-laki itu lalu tersenyum. Rupanya ‘gadis
manekin’ itu telah kembali dengan pesanannya. Setelah menggumamkan ‘terima
kasih’, Karen membawa pesanannya ke salah satu meja pengunjung.
Seperti
biasa, ia menghirup aroma kopi dalam-dalam. Meresapi nikmatnya aroma sedap yang
ditimbulkan di setiap tarikan napasnya. Wajahnya turut menghangat terkena asap
hangat kopinya.
“Boleh
aku duduk di sini?” suara ini mulai dikenal telinganya sejak beberapa menit
yang lalu. Ia sangat yakin itu. Namun untuk memastikan, ia mendongak untuk
melihat apakah telinganya dan otaknya masih ‘benar’.
“Oh,
tentu.” ujarnya dengan nada puas karena dugaannya benar. Laki-laki itu
menggenggam secangkir yang ia tebak isinya cappuccino—tentu saja. Ia duduk di hadapan Karen dan
mulai meminum cappuccino-nya. Karen
mengangkat tangan ke dadanya yang tiba-tiba berdebar-debar. Ia tidak tahu apa
yang baru saja ia rasakan itu. Dadanya berdebar dua kali lebih cepat daripada
biasanya. Dan ia tidak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya.
“Kau benar.” gumam laki-laki itu.
Karen
mengernyit. “Cappuccino-nya enak sekali.”
Kerutan
di dahi Karen perlahan menghilang. “Senang mendengarnya.”
“Aku
Joe. Kau?”
“Karen? Kau tidak mendengarku?”
Karen mengerjap lagi dan lagi.
Ingatannya terputar kembali pada beberapa bulan yang lalu. Pertemuannya dengan
Joe. Lelaki yang saat ini duduk di depannya.
“Maafkan aku… Aku hanya—” Joe
memiringkan wajahnya menatap mata abu-abu milik Karen. “oke, lupakan.” Dan
Karen langsung mengalihkan pandangannya.
“Pekan lalu, Royan menemuiku,”
ujarnya sontak membuat Karen menoleh. “Lalu? Mm, maksudku, apa yang dia
katakan?”
“Dia bilang … kau lebih bahagia
bersamaku. Dan—”
“Dan?”
“Dan dia mengancamku—untuk tidak
membuatmu menangis.” Karen mengangkat tangannya ke dahi, masih tidak percaya
bila ia diperebutkan oleh Royan dan Joe. Ia tentu tidak ingin persahabatan di
antara Royan dan Joe pecah karenanya. Astaga, ia bisa gila!
“Oke, biar kutebak! Kau—”
“Tentu saja aku bersedia.”