Sabtu, 15 Desember 2012

Cerpen, "Antara Aku dan Hujan"

Diposting oleh Unknown di 23:46


“Antara Aku dan Hujan”
Oleh: Dian Agustin

Untaian kata tak mampu ungkapkan apa yang kurasa
Izinkan aku terlelap di bawah alam sadarku
Meninggalkan hari yang terasa sama bagiku
Menyakitkan…
           
            Aku membiarkan tetesan-tetesan air hujan membelai lembut tubuhku. Aku tidak peduli. Aku tetap memandang wajahnya yang juga menatapku dari samping. Aku tersenyum lembut ke arahnya.
            “Kau … bibirmu pucat,” ujarnya lirih namun masih bisa kudengar. Kulihat raut wajahnya yang mengkhawatirkanku.
            “Tidak apa… Aku senang melihatmu –lagi.”
            “Mengapa kau masih di sini? Maksudku … ini bukan gerimis, kau tahu?” Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa ia mengusirku?
            “Aku hanya akan pergi saat aku ingin pergi. Dan perlu kauketahui, saat ini aku tidak ingin melakukannya!” cecarku. Aku mengerucutkan bibirku sebal. Rasa kesalku semakin bertambah saat melihatnya menahan tawa. Ini tidak lucu!
            “Kau tidak senang aku di sini?” lirihku. Aku menunduk sembari meremas jemariku yang telah memutih.
            “Aku tidak berkata seperti itu,” Aku mengeangkat wajahku menghadapnya. Ia mengangkat tangannya, lalu menyentuh kepalaku sambil tersenyum. Sejenak, atmosfer taman ini memanas walaupun hujan masih mengguyur tubuh kami. Dan baru kusadari,  aku menahan napas!
            “Baiklah, ayo kita pergi dari sini. Aku tidak setega itu membiarkanmu kedinginan seperti itu.” Ia berkata setelah ia menjauhkan tangannya dari kepalaku. Aku bernapas lega. Napasku normal kembali, dan aku lega karena itu.
            “Ayo, Rein!” Ia mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu meniupnya. Aku terlonjak dan reflex mengangkat bahu –menghindari tiupannya. Apa yang baru saja ia lakukan? Ia meniup tengkukku?
            “Mm.” Aku memaksa tuubuhku untuk berdiri, lalu berjalan di belakangnya.
***
            Hujan masih mengguyur Kansai ketika kami memutuskan untuk menyesap hot mochaccino di sebuah café. Mataku memandang setiap sudut café yang rupanya hanya ada kami –Aku dan Kakeru- serta dua orang wanita yang bisa dibilang masih muda. Aku menganggap itu hal biasa. Mana mungkin orang lain rela keluar dari rumahnya saat hujan lebat seperti ini? Ada-ada saja.
            Mataku kembali menyapu sudut-sudut café ini. Baru kusadari ternyata café ini sangatlah membosankan. Semua perabot café terbuat dari kayu dengan ukiran yang begitu rumit. Ya… aku memang tidak suka seni! Dinding dalam café sangat cantik dengan guguran daun-daun momiji. Ah! Ada lagi yang kusuka, bagian depan café dibatasi oleh kaca tebal, sehingga aku masih dapat menyaksikan hujan turun dari sini.
            “Apa yang mengganggu pikiranmu?” Aku menatapnya dalam. Semenjak kami meninggalkan taman tadi, ia terlihat murung. Seperti ada yang sedang mengganggu pikirannya. Tapi aku tak tahu apa itu. Kukira, ia akan membuka mulutnya kembali saat di dalam café, namun aku salah. Ia tetap bergeming.
            Ia menghembuskan napas. “Tidak ada.”
            Aku mengerutkan kening tidak percaya. Ia sepertinya tahu jika aku ingin penjelasan lebih, sehingga ia melanjutkan kalimatnya.
            “Mengapa harus seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Aku ingin tetap tinggal, namun… Ah! Sudahlah!” Ia menggumam tidak jelas. Bukan! Maksudku, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
            “Apa maksudmu?”
            Ia kembali menghembuskan napas. Kali ini terasa lebih berat.
            “Lupakan saja. Aku hanya lelah. Ayo, segera habiskan mochaccino-mu, agar kita bisa segera pulang!” Ia mengusap-usap pipiku yang langsung bersemu merah. Astaga! Apa yang akan terjadi padaku jika ia melakukan hal seperti itu lagi? Pingsan? Tidak. Itu terlalu berlebihan.
            “Mm… baiklah,” gumamku serak. Kuraih cangkir berisi hot mochaccino yang kubiarkan mendingin, lalu menyesapnya hingga tersisa separuh.
            “Ayo, kita pulang!” ujarku riang sambil meletakkan cangkir itu kembali.
            “Tapi, lihatlah! Huajn masih lebat. Tunggu! Jangan bilang kau akan tetap menerobos derasnya hujan ini?!” Aku tersenyum menyeringai.
            “Kau pintar! Kau dapat membaca pikiranku!! Ayo!” Aku bangkit dari kursiku, lalu berjalan mendahuluinya. Aku mendengarnya mendesah panjang, namun aku tidak peduli.
***

Ini masih sebuah cerita sedih
Menatapmu menjauh tanpa melihat ke arahku lagi
Mungkin aku akan menangis
Hingga saat ini…

            “Rein, aku akan pergi…” gumamnya. Sejenak, air hujan terasa seperti ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Apa maksudnya?
            “Pergi?”
            “Ya. Aku harus pergi,”
            “Kenapa tiba-tiba ingin pergi?”
            “Karena aku memang harus pergi.”
            Aku benar-benar tidak mengerti. Apa ia bercanda? Hujan, tolong katakana padanya, ini sama sekali tidak lucu!
            “Berapa lama?” tanyaku tanpa memandangnya. Ia tidak langsung menjawab. Dengan suara berat, akhirnya ia menjawab. “Mungkin, aku tidak akan bertemu denganmu lagi.”
            Aku berusaha mengendalikan napasku yang terputus-putus. Demi Tuhan! Aku tidak sanggup mendengarnya.
            “Rein.” Ia menorehkan senyumnya yang manis. Tapi, bagiku senyum itu sangatlah menyakitkan.
            “Terima kasih. Aku senang bias mengenalmu … dan memilikimu.”
            Kali ini ia berdiri di depanku, di hadapanku. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Tanganku menyambutnya dengan gemetar. Namun baru kusadari, hujan yang mengguyur tubuh kami tak mampu menghilangkan kehangatan telapak tangannya saat ia menggenggam tanganku. Hatiku tercabik untuk kesekian kalinya saat kehangatannya mengalir ke tubuhku, mengisi hati dan jiwaku. Inikah genggaman terakhir darinya?
            Ia menarik tanganku perlahan ke dalam pelukanya. Aku tidak menolak. Kubiarkan kedua tangannya memeluk erat tubuhku. Aku rela menukar apa saja demi menghentikan sang waktu. Sungguh!
            Pandanganku semakin mengabur saat tangan kanannya menyentuh kepalaku, mengusapnya lembut seolah menenangkanku. Air mataku jatuh, beradu dengan derasnya air hujan.
            “Aku mencintaimu.” gumamnya.
            “Aku juga.” Suaraku serak dan tercekat.
            “Berjanjilah, kau akan melupakanku,” katanya. Aku menggeleng. Saat itu juga aku dapat mendengar isakanku sendiri.
            “Kumohon … jangan pergi….” Pintaku dengan isakan tangis yang makin menyayat. Ia merenggangkan pelukannya untuk mencium keningku. Cukup lama.
            “Gadisku, kudoakan kau bahagia seumur hidupmu…” Ia tersenyum tipis lalu mulai membalikkan tubuhnya. Aku tetap diam hingga punggungnya hilang dari pandanganku.
            “Jangan pergi….” Tubuhku merosot jatuh ke tanah. Aku tidak dapat menahan isakanku lagi. Dadaku terasa semakin sakit saat aku mencoba menarik napas. Tubuhku berguncang keras. Saat itu juga aku menangis, benar-benar menangis tersedu-sedu.
***
Dan besok
Saat aku berjanji akan melupakanmu
Aku akan menghapusmu … juga bayanganmu….

            “Seorang pria ditemukan tewas setelah tertabrak sebuah mobil jeep, dini hari….”

-selesai-
U-uhh! Apa kabar kalian semua?!
Ada yang kangen aku, mungkin?
Wkwk ngarep -_-
Lama tak jumpa komenan kalian. Abis vacum siih!
Ayo ayo! Aku udah siap liat sambel kalian. Monggo dikomen =)
Follow kalo berkenan: @dianonlydian
Thenks ;>

-Dian Agustin-
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea