Rabu, 19 Desember 2012

Cerpen, `Bukan Dia, tapi Aku...`

Diposting oleh Unknown di 21:11

Dinginnya angin malam berhembus pelan menyapu lekuk wajah senduku. Aku tak menghiraukan seberapa menggigilnya aku saat ini. Orang yang kuinginkan untuk menghangatkan hatiku, kini telah pergi untuk menghangatkan hati orang lain. Aku mendongak menatap kelamnya langit malam. Gelap! Sama seperti hatiku saat ini. Tak ada lagi cahaya yang menyinari hatiku, cahaya itu pergi menyinari hati orang lain. Aku tersenyum miris. Kurasakan mataku memanas dan mengeluarkan tetes demi tetes cairan bening, saksi dari kepedihan hatiku yang kian membara.
            Entah sudah berapa tetes air mata yang kukeluarkan. Aku tak peduli. Hatiku terlanjur perih. Kekuatanku seakan hilang dalam sekejap. Ketegaran yang telah kubangun, runtuh dalam hitungan detik. Aku terjatuh! Aku bahkan tak sanggup menopang beban tubuhku sendiri. Aku lemah!
            Aku menekuk kedua lututku dan menenggelamkan wajahku disana. Menangis … hanya menangis yang mampu kulakukan, walau kutahu itu takkan membuat cintaku kembali….
***
            Aku berjalan gontai menyusuri koridor kampus menuju kantin bersama sahabatku, Fitri. Aku dan Fitri berjalan beriringan dalam diam. Mungkin Fitri tahu jika aku enggan untuk berbicara lantaran suasana hatiku yang sedang sangat kacau. Mataku kembali memanas ketika Davo, mantan kekasihku, berjalan ke arahku. Disampingnya, ada seorang gadis cantik yang bergelayut manja di lengan kirinya. Aku sadar, kini lengan kekar itu tak lagi milikku, bukan lagi hakku.
            Aku menunduk saat kurasa butiran bening mulai menggenang di pelupuk mata bundarku. Tidak! Aku harus tegar, aku tak boleh menangis di hadapan Davo, walau aku pun tahu ini sangat menyakitkan. Aku harus bisa merelakan Davo untuk Reva. Ini demi kebaikan mereka. Aku mengusap kasar air mata yang perlahan jatuh membasahi pipiku.
            Aku kembali mendongak saat di hadapanku berdiri dua orang yang telah sengaja membuat hatiku merasakan perih, dua orang yang sanggup membuatku menangis, membiarkan air mata ini terjatuh untuk mereka. Aku tersenyum menatap kedua orang itu. Senyum yang sebenarnya sanggup melukai relung jiwaku.
            Reva membalas senyumku hangat. Sedangkan Davo, ia lebih memilih untuk membuang muka. Ah, kau masih saja tampan. Dengan alis tebal yang hampir bertautan, hidung yang mancung, dan garis wajah yang tegas mempu membuatku selalu memujanya. Ah! Aku kembali tersadar, wajah menawan itu bukan lagi milikku.
            “Terima kasih, Ima, Kau telah merelakan Davo untukku. Aku tahu kau sakit, maafkan Aku… Aku benar-benar membutuhkannya disisa-sisa umurku. Aku mohon, jangan pernah membenci Davo. Ia tak pantas kau benci. Maafkan aku….” Davo mengusap air mata Reva yang mulai menetes. Jelas saja, aku iri terhadapnya. Setiap kali ia menangis, selalu ada orang yang menghapus air matanya. Sedangkan Aku? Apa aku tak berhak marah? Apa Aku tak boleh iri kepadanya? Aku rapuh! Air mataku kembali tumpah. Aku tak sanggup jika harus membendungnya lebih lama lagi. Aku cemburu terhadap Reva. Ia bahkan berhasil mendapatkan Davo, orang yang sangat kucintai. Sedangkan Aku, apa yang bisa kuperbuat?! Aku hanya bisa merelakannya walau hati ini terasa tercabik-cabik. Aku tak berdaya menahannya, cintaku telah pergi ke lain hati.
“Semoga kalian langgeng!” ujarku menahan sesak. Fitri mengusap pundakku-menguatkanku agar tetap teguh. Fitri menuntunku menjauhi kedua orang itu. Mungkin Fitri tahu bahwa aku telah sangat sakit. Tapi belum jauh aku melangkah, sebuah tangan mencegahku untuk pergi. Aku menoleh ke arahnya... Reva. Ah, kupikir yang menahanku tadi adalah tangan....
“Apa?”
“Ini undangan pernikahan kami. Datanglah... kumohon! Dan ini untukmu, Fit!” ujar Reva seraya menyodorkan undangan yang terlilit pita berwarna merah kepadaku dan Fitri. DEG! Napasku tercekat, tubuhku seketika melemas. Aku menatap kosong undangan itu tanpa mengambilnya. Hatiku tergores kembali untuk kesekian kalinya. Air mataku kembali menetes. Tuhan, apa belum cukup kau menyiksaku hari ini? Apa masih ada lagi kejutan untukku?
“Aku dan Davo akan menunggumu. Kalau kau tidak datang, kami tak akan memulai pernikahan kami,” lanjutnya seraya mengusap air mataku. Aku tersenyum kecut dan mengambil undangan itu. Aku memandang Davo yang sedari tadi diam. Apa lelaki itu tak tahu bahwa aku ingin sekali memeluknya dan menangis dalam dekapan dada bidangnya itu?
“Aku akan datang!”
***
Aku sudah mengetahuinya…
Ada gadis lain di sisinya…
Aku merelakannya…
Meskipun aku tahu…
Rasa sakit,
Tetap saja terasa….

(BLAM!)
Aku menutup pintu kamarku dengan keras, menguncinya, dan menyandarkan kepalaku pada pintu yang telah tertutup rapat. Aku memejamkan kedua mataku, merasakan sesak yang tiba-tiba menghimpit dadaku. Perlahan cairan bening ini menerobos melalui celah-celah mata terpejamku.
Aku tak bisa menahannya, menahan air mata agar tetap bersembunyi pada bola mata bundarku. Aku tak bisa! Seperti aku yang tak bisa menahan Davo agar tetap tersimpan dalam hatiku. Setidaknya … untuk sekedar mencurahkan cintaku padanya, aku tak bisa.
Perlahan kubuka kelopak mata ini, dan menghapus air mata yang telah menganak sungai dipipiku. Sebuah kotak yang tergeletak di atas laci samping ranjang, menarik perhatianku. Aku mendekati kotak itu dan mengambilnya.
Ku usap perlahan lapisan debu yang melapisi kotak itu dan membuka kotak yang berisi setiap kenangan manisku bersama Davo. Benda pertama yang menarik perhatianku adalah selembar foto berisi dua insan remaja yang tengah tertawa bahagia … dengan pipi seorang gadis dalam gambar yang terlumuri es krim dan seorang lelaki yang sedang menertawai gadis itu. Itu aku dan Davo….
Aku begitu merindukan saat-saat bersamamu, Davo. Aku mohon, kembalilah kepadaku. Aku janji, jika kau mau kembali kepadaku, kau boleh menertawaiku sepuasnya sebab hal-hal ceroboh yang kulakukan. Tapi, ayo! Kembali padaku!! Aku membutuhkanmu, Davo!!
Cairan bening itu kembali terjatuh mengaliri pipiku. Semakin aku mengusapnya, semakin deras pula air mata yang mengalir. Aku berbaring menatap langit-langit kamarku, pikiranku jauh melayang. Kubiarkan air mata ini terjatuh percuma untuk Davo. Perlahan, rasa kantuk mulai melandaku, karena hari ini aku lelah sekali, baik lelah fisik maupun batin, akhirnya kuputuskan untuk kembali bersemayam ke mimpi, alam keduaku.

***
            Aku menatap pantulan diriku dalam cermin besar. Dress biru laut selututku nampak pas dengan tubuh mungilku. Mataku masih saja sembab setelah seharian ini Aku terus menangis. Aku kecewa dengan orang-orang yang tega menyakitiku. Aku kecewa dengan orang-orang yang telah merebut hatiku. Aku kecewa pada diriku sendiri yang hanya bisa merelakan cintaku pergi ke cinta lain. Aku kecewa!! Aku lelah menghadapi semua ini, Tuhan! Aku lelah!! Peluk aku, Tuhan… sebentar saja.
            Aku menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan kedua mataku. Meresapi setiap udara yang melintas lembut di rongga hidungku. Aku membuka kelopak mataku setelah kutemukan ketenangan dalam jiwaku. Aku memutuskan untuk pergi ke sana, ke pernikahan Davo dan Reva. Tuhan, teguhkan hatiku….
***
            Davo tampak tampan dengan tuxedo hitamnya, sedangkan Reva sangat anggun dengan balutan gaun panjang putih dan rambut tergulung ke atas. Reva menatapku seraya tersenyum. Aku membalas senyumnya hangat. Pandanganku beralih pada Davo yang rupanya juga menatapku. Aku tak tahu arti pandangan itu padaku... yang kutahu, Davo pasti sangat bahagia dengan gadis di sampingnya itu. Aku tersadar dan segera membuang muka. Aku tak sanggup menatap dalam matanya. Mata itu terlalu menyakitkan untukku.
            “Baiklah, kita mulai acara pernikahan ini. Ayo, Reva, pasangkan cincin itu ke jari manis Davo,” perintah ayah Reva. Reva segera menyematkan cincin berlian itu ke jari manis Davo.
            “Nah, sekarang giliranmu, Davo....” Davo segera mengambil cincin itu dan kembali menatapku. Aku menunduk–mengalihkan perhatianku dari hal menyakitkan bagiku. Aku tak rela melihat orang yang sangat kucinta bersanding dengan orang lain. Aku tak rela! Namun, aku bisa apa?
            Davo kembali menatap cincin itu dan segera memasukkannya pada jari lentik Reva. Suara sorakan tepuk tangan memenuhi ruang dengarku. Aku diam-diam berlari keluar dengan air mata yang kian deras. Aku berlari ke pekarangan rumah Reva seraya menangis. Menangis dalam sunyinya malam. Kenyataan ini benar-benar sulit kuterima. Aku tak bisa melepas Davo.
            “KEMBALIKAN DIA UNTUKKU, TUHAN! AKU BUTUH DIA!!” Aku berteriak menumpahkan amarah yang terus bergejolak dalam dada. Aku tak peduli bila orang-orang menatapku aneh atau apapun itu, aku tak peduli. Hatiku terlanjur pedih!
            “Ima!!” Aku menoleh ke belakang-ke arah orang yang memanggilku. “Davo?”
            Aku berlari ke arahnya dan memeluknya… memeluk dengan sangat erat seakan tak kuizinkan ia pergi lagi dariku. Davo membalas pelukanku sangat erat.
            “Jangan tinggalkan Aku, Davo!” pintaku disela-sela tangisku. Ia melepaskan pelukanku dan menghapus lembut air mataku. Aku sangat merindukanmu, Davo!!
            “Maafkan aku,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Ia memelukku lagi dan memererat pelukannya.
            “Aku harus kembali … carilah pengganti yang lebih baik dariku, Ima. Aku menyayangimu!” ia mulai merenggangkan pelukannya dan mengecup lembut keningku. Davo membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhiku. Aku menatap punggung besarnya yang menjauh hingga benar-benar hilang dari pandanganku. Aku menggelengkan kepala tak percaya. Tubuhku merosot jatuh ke tanah.
***
-THE END-
Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah, Tuhanku yang sangat kucinta…
Sempet vacuum, tapi gabisa lama-lama. Cukup 3 bulanan ajah… tangan udah gatel pengen ngetik, mata udah panas pengen liat kririkan kalian. So, sambut aku dengan kritikan kalian yah!! Hehehe.
Udah ah cuap-cuapnya… semoga ga nyakitin mata kalian yah! Feel-nya ga ngena. Mungkin itu yang kalian rasain. So, aku minta maaf dulu deh ^^, jangan kapok yah, baca story-story aku lainnyaa…
Bye-bye-bye!
-Dian Agustin-
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea