Rabu, 19 Desember 2012

Cerpen, “True Love…”

Diposting oleh Unknown di 21:04
Masa lalu. Bukan hanya tuk dikenang, melainkan diambil pelajaran berharganya. Bagaimana masa lalu itu membuatmu jauh lebih indah, lebih kuat!


Sungguh, aku tak pernah menyesal mengenalmu. Sama sekali tidak ada alasan untukku membencimu. Sekalipun kau telah pergi dariku. Entahlah… hatiku selalu menolak tiap kali aku ingin membencimu.
Terima kasih! Sungguh, kau telah mengajariku untuk terus bertahan menunggumu. Tentu saja, hingga kau kembali.
Aku tersenyum miris. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bagaimana kau meninggalkanku. Bak sebuah film, kejadian itu kembali terputar jelas. Mataku memanas. Pandanganku kabur, terhalang oleh cairan bening yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
Tetap tersenyum, tetes demi tetes air mataku meleleh. Segera kuusap kasar dengan punggung tanganku. Karena aku tau, kau sangat membenci setiap tetes air mata yang jatuh dari pelupuk mataku….
***
“Aku akan pergi… jauh! Tapi, aku janji akan kembali,” Ucapmu yang seketika saja membuat napasku tercekat. Cappuccino di tanganku tiba-tiba saja terjatuh dari genggamanku. Aku mendongak menatap kedua telaga bening milikmu.
“Berapa lama?” tanyaku, bibirku seketika bergetar menahan tangis.
“Cukup lama. Tapi, aku janji, sayang. Aku akan kembali untukmu… Tunggulah aku di bawah pohon akasia ini. Aku akan kembali. Percayalah…!!” Aku memejamkan mataku frustasi. Perlahan cairan bening ini menerobos melalui celah-celah mata terpejamku. Aku tak bisa menahannya agar tetap bersembunyi pada bola mata bundarku. Ini berat! Ini benar-benar berat untukku. Berpisah dengan orang yang amat kucintai. Sesakit inikah rasanya?
“Hei.. hei.. Jangan pernah menangis karenaku. Aku akan sangat berdosa bila melukai hatimu…” Ibu jarinya bergerak menghapus air mataku yang masih mengalir. Segera kubuka kelopak mataku lalu tersenyum simpul ke arahnya. Aku tak ingin ia merasa bersalah kepadaku.
“Aku pasti menunggumu…” Aku menarik punggungnya mendekat ke tubuhku. Kupeluk erat tubuhnya dan menyandarkan kepalaku dalam dada bidangnya. Aku sungguh beruntung dapat memilikinya, menangis dalam pelukannya, dan dapat mencium pipinya. Kurasakan tangannya membelai lembut rambut kecokelatanku. Aku kembali tersenyum dalam hangat dekapannya.
“Don’t forget for smile… I really love you, baby!” ikrarnya sembari merenggangkan pelukanku.
“I love you more…” ujarku kemudian. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dapat kurasakan hembusan napasnya menyapu lembut wajahku. Aku hanya bisa memejamkan mataku saat ia mengecup kening, hidung, dan bibirku sekilas. Setelah itu, kulihat punggungnya yang menjauh. Ia pergi…?!
***
Tiga tahun berlalu begitu lamban bagiku. Aku tetap menunggu Dean hingga ia kembali. Pemuda beralis tebal itu mampu membuatku hampir gila karena kepergiannya, dulu.
Kakiku terus melangkah sesuai tujuan. Di tanganku terdapat segelas cappuccino hangat. Aku masih memenuhi janjiku pada Dean. Menunggunya di bawah pohon akasia. Tak pernah bosan, karena Dean pun tak pernah bosan kepadaku. Mungkin!
Aku berhenti tepat di bawah pohon akasia yang lebat. Segera kusandarkan tubuhku ke tubuh kokoh pohon ini sembari menyeruput cappuccino hangat di tanganku. Aku tersenyum bangga, karena hingga saat ini aku masih sanggup bertahan menunggunya tanpa tau kapan ia akan kembali. Akan kubuktikan padanya bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya. Amat mencintainya…
Aku kembali menyeruput cappuccino-ku saat tiba-tiba Eva berlari ke arahku. Eva, sahabatku satu ini adalah tempat mencurahkan segala keluh-kesahku. Ia mengetahui betul hubunganku dengan Dean. Eva lah yang paling mengertiku saat aku terpuruk karena Dean. Ia selalu memberiku semangat untuk bangkit dan terus bertahan saat aku mulai dilanda keputus asaan.
Aku melipat keningku hingga menjadi beberapa lipatan. Eva menarik tanganku tanpa berkata apapun. Aku bingung dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Eva, kenapa?” tanyaku bosan. Ia tersenyum ke arahku.
“Lila, ada kabar baik! Dean telah kembali… Ayo, ikut aku…!!”
Eva kembali menarik-narik tanganku untuk mengikutinya. Aku kembali melepaskan genggamannya, kali ini lebih kasar. Ia menatapku bingung.
“Dean tidak pernah berkata kepadaku, jika aku yang harus menemuinya!! Dean yang akan menemuiku di sini, Eva! Dan aku percaya padanya!!” jeritku histeris. Mataku memanas, wajahku merah menahan amarah. Aku percaya, jika memang Dean masih mencintaiku, ia akan menemuiku di sini. Aku percaya itu!
            Aku mendongak menahan cairan bening yang mulai mengumpul di pelupuk mataku. Tak kubiarkan air mata ini terjatuh kembali. Kurasakan tangan Eva menepuk lembut punggungku.
“CUKUP, La!! Sampai kapan kau akan terus begini?!! Menangislah! Jangan pernah menahannya!! Menangislah, keluarkan segala hal yang mengganjal di hatimu. Itu jauh lebih baik daripada kau menahannya!! Menangislah…!!” Aku menatapnya dalam. Kurasakan sesuatu tiba-tiba menghimpit dadaku. Tanganku terkepal memukul pelan dadaku yang tiba-tiba sesak. Kakiku melemas hingga aku merosot ke tanah. Aku menunduk, kembali menahan tangisku.
Hingga aku benar-benar tak kuat lagi menahan desakan di dadaku. Meledak! Aku menangis, sungguh-sungguh menangis sesenggukan. Tanganku lebih keras memukul dadaku hingga menimbulkan nyeri.
Eva meraihku dalam pelukannya. Sudah lama sakit ini kupendam. Hingga tiba puncaknya, aku tak dapat lagi, memendam lagi… Maafkan aku, Dean…
***
 Ingatkah kau, atas janjimu 
 Di saat senja kala itu?
Masih mampukah, memori otakmu 
Mengingat namaku?
Masih adakah, kenangan indahmu 
Dulu, bersamaku?
Taukah kau, sayang?
 Di sini aku merindumu 
 Ditemani kehampaan ruang 
Yang membingkai kekosongan hati dan jiwaku...
Senja kala itu, saksi bisu kesendirianku
 Sayang, aku di sini menunggumu....

Masih sama… Aku menyeruput cappuccino-ku di bawah naungan pohon akasia ini. Masih sama… Masih menunggunya…
Aku menatap siluet seseorang di belakangku. Kuputar tubuhku hingga mataku menangkapnya. Seorang laki-laki dengan T-shirt bertuliskan ‘You grow to spring Me’ berwarna merah di hadapanku.
“Dean!” pekikku.
Jantungku berdegup lebih kencang kali ini. Mataku tak lepas dari sosok di depanku.
“Hai,” sapanya lembut.
Bibirku terasa kelu, tak mampu mengucap sepatah kata pun.
“Apa kabar?” tanyanya seraya tersenyum manis.
Aku masih terdiam. Kupandangi wajahnya secara intens. Memastikan ini bukan hanya halusinasiku.
“Kenapa, Lila?” tanyanya lagi. Aku berhambur ke arahnya. Kupeluk erat-erat sosok yang sangat kunantikan ini. Kudengar isak tangis yang mulai memenuhi ruang dengarku. Ia membalas pelukanku erat sekali.
Berkali-kali ia menciumi puncak kepalaku. Di sela-sela tangisku, kuhirup aroma tubuhnya yang menyegarkan. Aroma yang seketika membuatku lebih tenang. Kurenggangkan pelukannya dan menatap wajah indahnya.
“Masih ingin pergi lagi?” ia menggeleng sembari tersenyum.
“Ini cukup membuatku hampir mati,” bisiknya lembut di telingaku. Aku tersenyum manis ke arahnya. Tiba-tiba, Ia berlutut di hadapanku seraya mengecup lembut punggung tanganku.
Tak lama, ia menyodorkan sebuah cincin belian yang tersimpan dalam sebuah kotak berbeludru merah. Aku menutup mulutku dengan tangan kiriku.
“Lila, will you marry me…?
Setetes air mataku meluncur bebas melalui pipiku. Namun kali ini aku menangis karena bahagia. Tanpa ragu kuanggukkan kepalaku. Ia tersenyum sangat manis. Dipasangkannya cincin itu ke jari manisku. Lalu, ia berdiri untuk memelukku sembari bergumam lirih, “Untuk kekasihku yang luar biasa, aku mencintaimu…”

Cinta sejati tak mengenal jarak, ruang, dan waktu. Pada saatnya ia pun akan berbicara dan membuktikannya ada….

-Selesai-
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea