Written by. Dian Agustin
Di ujung sebuah senja. Ketika mataku menatap hamparan awan
berarak yang menggantung di langit, ketika angin membawa kembali rasa
itu, rasa dalam hati yang kuanggap anugerah dari Sang Kuasa untukku.
Seketika itupun aku mengenangmu ….
Aku kembali merasakan apa yang disebut kehilangan. Kehilangan
sebagian jiwa, kehilangan sebagian hati, dan seluruh harapan. Harapan
yang telah lama kuhiraukan, dan akhirnya … mati. Aku merindukan sosok
berkharisma itu. Aku merindukan tanganmu yang seolah melindungiku,
merangkulku tanpa rasa lelah. Dan aku rindu padamu.
Hei, kamu apa kabar?
Pertanyaan itu selalu menyelubungi pikiranku, dan yang pada
akhirnya hilang bersama helaan napasku. Hh, aku lelah. Aku lelah ketika
harus kembali meyakinkan diri sendiri, kamu telah pergi bersama hembusan
angin. Membawa sejuta kisah cinta dan harapanku. Aku lelah karena
selalu berharap pada angin agar mereka membawa serta tangisku dalam
hijrahnya, membawa serta lukaku pada setiap jejaknya. Aku lelah dan kamu
harus tahu itu.
Cinta adalah ketika ‘perasa’nya tidak peduli seberapa banyak airmata yang ia jatuhkan demi orang yang dikasihinya …
Ketahuilah, aku ingin mencintaimu tanpa batas. Aku juga ingin
menangisimu tanpa batas. Tapi, aku tidak ingin lagi mencari harapan yang
telah terkubur jauh bersama anganku tentangmu. Karena aku dan kamu tak
akan lagi menjadi kita. Namun, hanya sebuah kenangan manis dan pahit di
masa lalu.
Aku hanya akan mencari sebuah harapan yang baru. Aku hanya tak
ingin terus tenggelam dalam imajiku tentangmu, tentang sebuah masa lalu.
Karena aku punya masa depan, aku juga harus memberi kesempatan untuk
orang lain hadir dalam jiwaku dan hatiku. Mengisi kembali separuh bagian
yang hilang bersamamu. Menjadi sebuah harapan baru yang kuharap akan
membawaku ke singgasana baru yang lebih ‘wah!’. Dan itu adalah hatinya,
bukan lagi hatimu.
Biarlah angin membawa serta dirimu dan lukaku, serta akar rinduku untukmu ….