Rabu, 19 Desember 2012

Cerpen, “Hilang Tanpa Bekas…”

Diposting oleh Unknown di 21:07

“Hilang Tanpa Bekas…”
Oleh: Dian Agustin

            Apa kalian pernah merasakan luka? Bukan, yang kumaksud di sini adalah luka di hati kalian. Apa kalian pernah merasakannya? Terkadang sebuah luka membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menyembuhkannya. Apalagi ketika kalian menatap wajahnya. Luka lama itu mungkin kembali hadir memahat hati kalian. Dada kalian bergetar hebat dan menyesakkan. Begitukah rasanya?
***
~Flashback~

            Kuketuk pintu sebuah rumah sederhana namun sangat asri itu. Kutarik napasku panjang sampai kurasakan paru-paruku penuh terisi udara, kemudian menghembuskannya. Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengannya. Dan efeknya, aku sangat rindu padanya!
            Tak lama, seorang pria bertubuh jangkung membukakan pintu untukku. Aku tersenyum ke arah pria berwajah manis di hadapanku. Alis tebalnya yang hampir betaut dengan hidung sedikit mancung, mampu membuatku jatuh hati kepadanya. Dia Davo, kekasihku….
            Lama dia diam, aku pun diam. Entah mengapa, aku merasa ada kecanggungan di antara kita. Aku menatap wajahnya yang menunjukkan raut muka gelisah. Dia … aneh. Tak seperti biasanya dia seperti ini.
            “Ehm… Kinan! Ada apa kamu ke mari?” tanyanya kepadaku yang sedang memerhatikannya. Bingung.
“Masuklah…” dia memberiku jalan, aku melewatinya dan berjalan menuju ruang tamunya. Tapi, dia menarik tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku kaget namun tanganku balas merangkulnya. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang tak teratur. Aku mempererat pelukannya. Kusembunyikan kepalaku di bawah leher jenjangnya. Itu kebiasaanku saat memeluknya. Dapat kurasakan aroma maskulin dari tubuhnya yang menyegarkan.
“Aku kangen banget sama kamu!” ia berkata seraya menciumi puncak kepalaku dan aku sangat menikmatinya.
“Aku juga, Davo…” ujarku lirih dan kurasa ia mampu mendengarnya. Ia mulai merenggangkan pelukannya dan mempersilahkanku untuk duduk.
            Aku duduk berhadapan dengannya. Kuperhatikan wajahnya yang begitu menawan. Entah mengapa, aku tak pernah jenuh untuk memandangnya. Mata tajamnya yang meneduhkan dan senyumnya yang sangat indah dipandang mata. Aku begitu mencintainya…
“Udah tiga hari kamu nggak ada kabar. Ke mana aja?” tanyaku membuka pembicaraan. Raut wajahnya yang semula tenang, kembali gelisah.
“Umm… aku sangat sibuk akhir-akhir ini…” jelasnya. Aku membulatkan mulutku.
“Sibuk apa?” tanyaku lagi-mengintrogasinya.
“Kinan, ada sesuatu yang ingin kukatakan,” keningku berkerut seakan-akan mengatakan ‘Apa?’ kepadanya. Sepertinya dia paham dan melanjutkan perkataannya.
“Aku dijodohkan!” napasku tercekat mendengarnya. Dua kata … ya! Hanya dua kata yang mampu membuatku sesak. Aku diam menunggu penjelasannya.
“Ya… aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku dengan seorang gadis belia. Gadis itu depresi setelah dia tau kalau dirinya hamil. Dia … dinodai oleh mantan pacarnya yang sekarang menghilang. Aku terpaksa…”
            Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Cairan bening itu mulai mengaliri pipiku. Aku  tak tau apa yang aku rasakan sekarang. Yang pasti aku sangat kecewa dan sakit! Aku menggigit bibir bawahku–menahan rasa sesak di dada. Namun sesak itu enggan untuk hilang.
            “Terus,… hubungan kita…?” lirihku bergetar. Air mataku terus mengalir … semakin deras dan deras lagi.
“Maafin aku, Kinan!” aku menunduk menahan sakit di hatiku. Inikah perpisahan? Seperti inikah sakitnya perpisahan?
            Davo mencondongkan tubuhnya dan memelukku. Dia memelukku erat namun aku tak membalasnya. Aku tetap mematung.
“Kinan… jangan kayak gini. Jangan diem aja. Kamu boleh pukul aku! Kamu boleh hina aku! Ayo Kinan… jangan gini! Pukul aku… pukul!!” aku tetap diam. Bahuku samakin bergetar karna tangisku yang semakin deras mengalir. Perlahan kurenggangkan pelukannya dan berlari keluar rumah.
***
            Aku menatap langit senja yang tak lagi indah. Suram. Awannya hitam pekat saperti hatiku. Kilat menyambar-nyambar disusul bunyi gemuruh yang menakutkan. Aku terus berlari tanpa memepdulikan tetes demi tetes air dari langit yang semakin lama semakin menusuk kepalaku. Aku mendengar teriakan Davo yang sepertinya mengikutiku. Aku tetap berlari menerobos lebatnya hujan yang membuat pandanganku semakin tidak jelas. Aku terjatuh karena tersandung batu. Lututku berdarah karena aku hanya mengenakan dress selutut tanpa lengan.
            Davo menghampiriku dan membantuku untuk berdiri. Aku menepis kasar tangannya dan mencoba berdiri sendiri walaupun sulit. Davo menatapku iba. Rasanya aku belum siap untuk bertemu dengannya. Itu membuatku semakin perih. Aku kembali menjauh namun dengan jalanku yang terpincang-pincang. It’s over!! Selesai! Ini akhir ceritaku dengan Davo!
            Davo menyusulku dan memasangkan jaketnya ke tubuh ringkihku. Tubuhku tambah bergetar kedinginan. Davo mencengkeram lenganku agar aku tak lagi menjauhinya.
“Bibirmu pucat…” dia menyentuh bibirku namun segera kupalingkan wajahku.
“Lihat mataku, Kinan!” ucapnya penuh penekanan. Mata elangnya menatapku tajam. Aku bahkan tak berani menatap tangannya yang mencengkeram lenganku.
“Enggak!” jeritku di tengah hujan yang mengguyur tubuh kita berdua.
“KINAN!!” teriaknya yang membuatku semakin takut. Kupalingkan wajahku menghadapnya. Mataku menatap mata teduhnya. Mata itu … mengingatkanku pada semua kenangan indahku bersamanya. Aku kembali menangis. Air mataku beradu dengan derasnya air hujan.
“Maaf!” dia menarikku ke dalam pelukannya. Tubuhnya hangat dan nyaman. Inikah pelukan terakhir darinya? Aku memukul pelan dada bidangnya. Dia diam saja dan semakin mempererat pelukannya.
“Kamu jahat! Davo jahat! Aku tuh cinta kamu. Kamu nggak mikir apa, gimana sakitnya aku pas lihat kamu sama cewek lain? Kamu punya aku! Bukan punya dia! Kenapa kamu lebih milih dia? Apa kamu udah nggak sayang lagi sama aku? Iya, kan? Jawab Davo!!” tangisku histeris dan memukul dadanya semakin keras. Aku tau, aku memang egois! Aku tau itu!! Tapi apa aku tak berhak untuk bahagia? Apa aku tak boleh memiliki Davo seutuhnya?
“Aku sayang kamu, Kinan! Aku cinta sama kamu… kamlau kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakuin?! Di satu sisi, ada kamu yang aku cinta. Tapi di sisi lain, aku kasian sama dia… please, ngertiin aku… aku janji Cuma kamu di hati aku. Aku emang cowok berengsek! Kamu boleh benci aku. Karna aku udah tega ngelukain hati cewek sebaik kamu. Kamu boleh benci sama aku, Kinan!!” perlahan tanganku mulaiberhenti memukulnya. Aku diam–berpikir. Apa yang dikatakan Davo memang benar. Gadis itu lebih membutuhkannya daripada aku. Terlebih janin yang ada dalam kandungannya. Aku harus mencoba mengerti. Aku tidak boleh egois. Aku bukan orang jahat… tapi, bagaimana denganku?
“Aku udah maafin kamu kok,” hujan mulai berhenti mengguyur bumi ini. Semua awan gelap kini telah berganti dengan langit berkanvas jingga. Davo melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Apa?”
“Jangan suruh aku buat ulangin kata-kata itu lagi… Davo, kamu janji ‘kan bakalan sayang sama aku?” ucapku pelan namun sangat jelas.
“Hati kamu terbuat dari apa sih? Aku nyesel banget udah nyakitin cewek kayak kamu. Aku bangga pernah milikin kamu, Kinan… aku janji!” aku tersenyum tipis dan berjinjit untuk mencium pipi orang di hadapanku ini. Orang yang sangat kusayang… dia membalas dengan mencium keningku lama sekali….
***
            Aku tak pernah sekalipun membenci Davo. Bagaimanapun, dia yang selalu mewarnai hari-hariku. Mungkin raganya memang bukan untukku, tapi aku percaya, hatinya hanya untukku. Aku belajar memaafkan kesalahannya walaupun luka itu sembuh membutuhkan proses. Namun aku telah meyakinkan hatiku untuk memaafkannya dan tidak membencinya. Karena aku percaya, Tuhan punya scenario indah untuk kisah hidupku selanjutnya….

Luka itu … perlahan hilang, hingga tak berbekas….

-The End-


Jumlah kata: 1095 termasuk judul. :)

Tentang Penulis


Dian Agustin, nama indah hadiah kedua orang tuaku untukku. Selama 14 tahun ini, aku masih tinggal bersama orang tuaku. Rumah sederhana namun penuh dengan kenangan indah maupun pahit. Aku tinggal bersama mereka di Jalan Granit Kumala 5.7 no 18 Kota Baru Driyorejo, Gresik kode pos 61177.
Berbicara mengenai kedatanganku di dunia. Momen pertamaku menghirup oksigen di bumi ini terjadi pada tanggal 5 Agustus 1998. Aku masih tercatat sebagai murid kelas 3 SMP di salah satu sekolah negeri di Surabaya. Terima kasih untuk waktu luang yang kau korbankan untuk membaca karyaku ini! Terima kasih!
 

About My Feelings Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea